SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA & SELAMAT MEMBACA

Rabu, 31 Oktober 2012

Hukum Seputar Anak-Anak


PENGERTIAN
  1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
  2. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusian, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
  3. Perlindungan Khusus : Perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari Kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
  4. Anak dalam situasi darurat terdiri atas anak yang menjadi pengungsi, anak korban kerusuhan, anak korban bencana alam, dan anak dalam situasi konflik bersenjata.
  5. Anak yang berhadapan dengan hukum meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana.
  6. Anak dari Kelompok minoritas dan terisolasai atau komunitas adat terpencil adalah Kelompok yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi, maupun politik.
  7. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual adalah anak yang bekerja untuk membantu orang tua (karena pengaruh budaya) atau anak yang dipaksa bekerja oleh orang tua, keluarga, dan orang lain. Anak-anak tersebut tidak dibayar, hasil keringat mereka dinikmati orang lain.
  8. Anak yang diperdagangkan adalah kegiatan mendorong anak untuk masuk kedalam industri seks komersial. Kegiatan tersebut tidak hanya perbuatan melacurkan anak, tetapi juga penggunaan citra anak-anak untuk pornografi.
  9. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (Napza) yaitu menyangkut keterlibatan anak-anak dalam penggunaan, peredaran, dan perdagangan napza.
  10. Anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan adalah anak-anak, terutama anak perempuan yang menjadi korban perdagangan baik di dalam maupun lintas batas.
  11. Anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental merupakan anak-anak yang terancam secar fisik dan non fisik karena tindakan kekerasan, diperlakukan salah atau tidak semestinya dalam lingkungan sosial terdekatnya, sehingga tidak terpenuhinya kebutuhan dasarnya dengan wajar baik secara jasmani, rohani maupun sosial.
  12. Anak yang menyandang cacat merupakan anak yang mengalami kecacatan sejak lahir dan mengalami kecelakaan atau kelalain pihak lain.
  13. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran merupakan anak-anak yang mengalami masalah pemenuhan kebutuhan dan hak-haknya (rohani, jasmani, maupun sosial). Penyebab utamanya orangtua kurang mampu secara ekonomi dan psikologis.

Dasar Hukum
  1. UU No. 23 tahun 2002, tentang Perlindungan Anak
  2. UU No. 23 tahun 2004, tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
  3. UU No. 21 tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO)
  4. PP No. 9 tahun 2008, tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan atau Korban Perdagangan Orang.
  5. Perpres No. 69 tahun 2008, tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
  6. Permen PP No. 1 tahun 2009, tentang Standar Pelayanan Minimum Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan atau Korban Perdagangan Orang.
  7. Permen PP No. 7 tahun 2008, tentang Sekretariat Gugus Tugas Pusat PTPPO
  8. Permen PP No. 8 tahun 2008, tentang Sub Gugus Tugas Pusat PTPPO
  9. Permen KoKesra No. 25 tahun 2009, tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) PTPPO dan Eksploitasi Seksual Anak (ESA) tahun 2009-2014.
  10. Pedoman Penanganan Anak Korban Kekerasan.
  11. Panduan Jejaring Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum
  12. Keputusan Bersama Ketua MA, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sosial dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, No. 166A/KMA/SKB/XII/2009, No. 148A/JA/12/2009, No. B/45/XII/2009, No. M.HH-08 HM.03.02 tahun 2009, No. 10/PRS-2/KPTS/2009, No. 02/Men.PP dan PA/XII/2009, tentang Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum.

Tips sederhana menjadi saksi di pengadilan

Sebelum menghadiri persidangan, penting untuk memahami fungsi sebuah persidangan. Anda mungkin merasa hal itu sudah jelas, yaitu untuk mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Tetapi, kenyataannya tidak sesederhana itu. Bukan kebenaran setiap unsur-unsur fakta yang terpenting, tetapi bagaimanakah kualitas bukti-bukti yang dihadirkan oleh kedua belah pihak yang bersengketa itu diajukan, untuk mendukung alibi kasus / perkara yang diajukan ke persidangan.
Walaupun dalam setiap sidang seorang saksi disumpah untuk mengatakan dan memberikan kesaksian “yang sebenarnya, tidak lain dari pada yang sebenarnya”, namun perlu disadari bahwa fungsi utama persidangan bukan untuk menemukan kebenaran. Bagi kebanyakan orang hal tadi akan terdengar aneh, walau demikian hal itu sebenarnya terus berlangsung dan terjadi. Persidangan sesungguhnya tidak mencari tahu seluruh kebenaran, apakah itu kebenaran ilmiah atau kebenaran fakta [Sir David Napley – Penasehat Ratu Inggris]. Dalam otobiografinya [John Mortimer, seorang pengacara dan pengarang Rumpole of Bailey] mengajukan argumentasi bahwa “tugas utama pengadilan bukan untuk menyelediki agar menemukan kebenaran, walaupun kebenaran kadang-kadang tergali secara tidak sengaja. Pengadilan adalah sebuah ujian bagi bukti-bukti, sebuah prosedur untuk menemukan apakah kasus yang diajukan bisa dibuktikan tanpa sedikitpun keraguan. Bagaimana ini terjadi, mengapa mencari kebenaran begitu menyulitkan? Karena dua aspek penting persidangan yaitu pertama : adanya ketentuan / peraturan tentang bukti-bukti yang bisa diterima dan diajukan ke persidangan, kedua : label atau cap yang melekat bagi tergugat atau terdakwa [lebih cenderung bagi terdakwa yang berada dalam dugaan kesalahan kuat sebagai pelaku tindak pidana].
Peraturan terhadap bukti-bukti dan saksi dibuat untuk melarang bukti-bukti yang mungkin tidak adil atau tidak aman dihadirkan dalam persidangan. Bukti-bukti bisa dilarang – padahal [bisa saja] bukti itu akan membawa dampak langsung pada kebenaran – jika diangap tidak adil bagi terdakwa. Contoh sederhana misalkan ada aturan kebiasaan yang berlaku terhadap “bukti rumor” dan peraturan yang berlaku untuk pengakuan. Bukti rumor adalah bukti yang tidak dilihat langsung oleh seorang saksi, misalnya ia mengatakan bahwa dia melihatnya membawa uang, ini adalah bukti rumor dan tidak dapat diterima, karena orang yang melihat langsung tidak diperiksa, maka bukti ini tidak bisa diajukan untuk diperiksa dan diterima di persidangan. Demikian pula dengan bukti yang didapat dari pengakuan, hakim dapat melarang bukti itu untuk digunakan, jika ia menganggap pengakuannya diperoleh dengan ancaman atau sogokan. Rambu-rambu ini penting diberlakukan, tetapi jelas pula bahwa peraturan ini bisa mempengaruhi evaluasi kebenaran. Mencari kebenaran juga bisa “dipengaruhi” melalui kegiatan yang lebih halus dan tidak kasat mata dalam sistem peradilan. Persidangan dibuat untuk memproses mereka yang bersalah, dan kebanyakan orang disidangkan divonis bersalah [ini label yang biasa diberlakukan terhadap terdakwa]. Dalam sebuah persidangan 80 s.d. 90% kasus akan berakhir dengan vonis seorang terdakwa dinyatakan bersalah, sedang yang divonis tidak bersalah sangat jarang terjadi di Pengadilan, maka ada pepatah “tidak ada asap kalau tidak ada api”…. “jika ia tidak melakukan pelanggaran ini, ia mungkin melakukan pelnggaran yang lain”. Walaupun ada asumsi yang mengatakan bahwa “tidak bersalah sampai dibuktikan bersalah”, dalam sistem yang terjadi sekarang bagi proses persidangan yang terjadi sekarang adalah sebaliknya, yang berlaku adalah “anda bersalah, kecuali anda bisa membuktikan sebaliknya”.
Oleh sebab itu jika anda hadir dalam suatu persidangan untuk memberikan kesaksian anda harus menyadari bahwa persidangan tidak menaruh perhatian pada kebenaran bersalah atau tidak bersalah, namun hanya memperhatikan kualitas kesaksian yang akan anda sampaikan. Hal penting lain yang perlu untuk disadari bahwa dalam sistem peradilan kita, anda mungkin akan ditanyakan bukti-bukti yang anda miliki namun bukan untuk menemukan kebenaran, melainkan hanya untuk menguatkan kualitas kesaksian anda. Karena itu jika anda hendak memberikan bukti yang berguna dan akurat, anda harus memiliki kecakapan agar dapat mengajukan bukti secara jelas, anda harus mempelajari bagaimana menghadapi pengacara [lawan] yang tentunya akan bertujuan untuk membuat anda bingung dan kualitas kesaksian anda akan menjadi buram [tak berkualitas / tak berguna].
Dalam hal menghadiri persidangan : situasi di ruang sidang sangat formal dan mempunyai peraturan yang sangat ketat. Untuk menjadi saksi yang efektif, penting bagi anda untuk memahami aturan main di pengadilan [hal ini dapat anda konsultasikan / tanyakan kepada pengacara yang anda percaya]. Langkah termudah untuk memahaminya adalah dengan mengamati persidangan secara langsung, yang dengan demikian rasa cemas untuk hadir di persidangan dapat diatasi.
Dalam hukum acara persidangan [perdata maupun pidana] di Indonesia, saksi atas suatu kejadian faktual atau saksi yang melihat, mendengar, mengalami langsung suatu fakta yang akan memberikan kesaksiannya di persidangan, tidak diizinkan untuk melihat jalannya persidangan ketika seorang saksi [lain] sedang diperiksa, sampai saksi yang diperiksa tersebut selesai memberi kesaksian. Mengapa? Karena jika saksi ini melihat dan mendengar jalannya persidangan, maka ia akan terbiasa dengan lingkungan ruang sidang yang kaku dan formil ini, lingkungan ini merupakan tempat kerja sehari-hari bagi anggota utama persidangan seperti hakim, jaksa, advokat, panitera dan [mungkin juga] terdakwa. Disini mereka semua merasa seperti di dalam rumah sendiri, sering kali hanya saksi yang merasa tidak nyaman.
Ketika anda memberi kesaksian, anda harus berusaha keras untuk menyesuaikan diri dengan aturan main persidangan. Salah satu aturan penting adalah tentang cara berpakaian. Toga berwarna gelap [hitam] adalah pakaian standar bagi para praktisi hukum di ruang sidang. Penelitian terhadap keterangan saksi-saksi menunjukkan bahwa mereka yang berpakaian gelap, pakaian konservatif, dianggap serius dan berpengetahuan. Bukti yang diberikan dianggap lebih berbobot dan diterima dengan lebih serius. Jika anda mengenakan hiasan yang berkilauan, arloji mewah, ada kemungkinan anda akan menyinggung atau mengalihkan perhatian dari disposisi yang konservatif, apabila ini terjadi bisa tercipta kemungkinan kesaksian anda akan tidak berkualitas atau dianggap tidak berbobot.
Ketika anda memberi kesaksian, anda akan diminta untuk bersumpah atau berjanji. Inilah saat dimana anda bisa mendengar suara anda sendiri di ruang sidang. Ruang sidang bisa merupakan tempat yang [agak] bising, jadi penting bagi anda untuk bersuara jelas dan lantang, agar semua yang berkepentingan bisa mendengar apa yang akan anda bicarakan / sampaikan. Tetapi yang paling penting, jika anda berbicara dengan yakin dan tegas, keterangan / kesaksian anda akan ditanggapi dengan lebih serius.

Cara Pembuatan Surat Perjanjian/Kontrak


Mengenai Kontrak  
Dalam kehidupan sehari-hari sering kita jumpai  hubungan bisnis antara orang dengan orang atau orang dengan perusahaan dalam urusan jual-beli, sewa-menyewa, pinjam pakai dll Kegiatan ini menyangkut perikatan dalam ranah privat dan diatur dalam berbagai aturan antara lain Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) dan hukum Adat. Kegiatan tersebut biasanya tertuang dalam bentuk tertulis yang sehari-hari sering kita lihat, kita saksikan bahkan kita lakukan sendiri dalam pembuatan kontrak,rekes maupun surat-surat resmi lainnya Beberapa contoh perjanjian kegiatan yang sering dilakukan masyarakat seperti jual-beli, sewa-menyewa maupun pinam pakai yang disajikan dibawah ini dapat  menjadi acuan  untuk memenuhi kebutuhan kita dalam melakukan salah satu kegiatan ekonomi tesebut.  Pada prinsipnya hubungan bisnis ini menganut kebebasan masing-masing untuk berkontrak dan menganut azas “Pacta Sunt Servanda” yaitu semua persetujuan yang dibuat berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang terikat dan harus dilaksanakan  dengan itikad baik. (Psl 1338 KUHPer). Pada umumnya perikatan lahir dari persetujuan atau karena undang-undang (Psl.1233 KUHPer). Perikatan diartikan sebagai  memberikan sesuatu,berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu (Psl. 1234 KUHPer). Sedangkan persetujuan /perjanjian merupakan perbuatan seseorang atau lebih yang mengikatkan diri kepada seorang maupun lebih (Psl. 1313 KUHPer). Agar suatu persetujuan/perjanjian dianggap sah harus dipenuhi 4 (empat) syarat yaitu :

    Kesepakatan bagi mereka yang mengikatkan diri (Psl. 1320 ayat (1) KUHPer)
    Kecakapan untuk melakukan perikatan (Psl. 1320 ayat (2) KUHPer)
    Mengenai suatu pokok persoalan tertentu (Psl. 1320 ayat (3) KUHPer)
    Oleh sebab yang tidak terlarang (Psl. 1320 ayat (3) KUHPer)
 
Suatu persetujuan dapat diadakan  dengan cuma-cuma atau dengan memberatkan. Persetujuan cuma-cuma adalah perjanjian yang dilakukan satu pihak yang akan memberikan suatu keuntungan bagi pihak lain dengan tidak menerima imbalan. Sedangkan persetujuan dengan memberatkan mewajibkan para pihak memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Perjanjian tidak terlaksanan atau mempunyai kekuatan mengikat apabila timbul dari kekhilafan atau diperoleh karena paksaan atau penipuan Psl. 1321 KUHPer).  Setiap orang berwenang untuk membuat perjanjian/perikatan kecuali mereka yang dinyatakan tidak cakap untuk itu (Psl 1329. KUHPer) meliputi :
  1. Anak yang belum dewasa (Psl. 1330 ayat (1) KUHPer)
  2. Seseorang dibawah pengampuan (Psl. 1330 ayat (2) KUHPer)
  3. Wanita yang telah kawin (Psl. 1330 ayat (2) KUHPer). (Catatan:  Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran No.3/1963 tanggal 5 September 1963 yang menyatakan bahwa Psl 108 dan 110 KUHPer yang mengatur seorang istri dalam melakukan perbuatan hukum dan menghadap di muka pengadilan harus seizin suami sudah tidak berlaku lagi)
  4. Semua orang yang oleh undang-undang dilarang membuat perjanjian/persetujuan tertentu (Psl. 1330 ayat (3) KUHPer).
Persetujuan mengikat apabila dengan tegas ditentukan didalamnya, namun juga menurut sifat persetujuannya dapat dituntut berdasarkan keadilan, kepatutan dan undang-undang (Pasal 1339 KUH Per).   
Persetujuan tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak  atau disebabkan alasan karena undang-undang (Pasal 1338 KUH Per). Perikatan yang dibuat karena paksaan, penyesatan atu penipuan menimbulkan tututan pembatalannya (Pasal 1449 KUH Per).
Bila tuntutan pernyataan batalnya suatu perikatan tidak dibatasi waktunya berdasarkan ketentuan undang-undang yang khusus maka pembatasan ditetapkan 5 tahun dan mulai diberlakukan : (Pasal 1454 KUH Per).
  1. Untuk  kebelumdewasaan terhitung sejak hari kedewasaan;
  2. Untuk pengampuan sejak pencabutan pengampuan
  3. Untuk paksaan sejak paksaan itu berhenti
  4. Untk penyesatan atau penipuan sejak diketahuinya penyesatan atau penipuan
  5. Untuk perbuatan seorang bersuami yang dilakukan tanpa surat kuasa si suami terhitung  sejak pembubaran perkawinan.
  6. Untuk segala tindakan yang tidak diwajibkan  yang dilakukan debitur yang menyebabkan kerugian kreditur, sejak adanya kesadaran  perlunya dibatalkan (Psl 1341 dan 1454 KUHPer) 

Bagi salah satu pihak yang perikatannya tidak dipenuhi pihak lain dapat memilih tindakan  untuk memaksa pihak lain untuk memenuhi persetujuan apabila masih dimungkinkan atau menuntut pembatalan persetujuan dengan penggantian biaya kerugian dan bunga (1267 KUHPer) Penggantian kerugian dapat dilakukan apabila pihak lain telah dinyatakan lalai untuk memenuhi kewajibannya dan telah melampaui tenggang wakltu yang ditentukan sejak pemberitahuan. ( Pas 1243 KUHPer)  Debitor harus dihukum untuk mengganti biaya kerugian dan bunga apababila ia tidak dapat membuktikan tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu pelaksanaan perikatan itu disebabkan oleh keadaan yang tidak terduga diluar kemampuan/kekuasaannya (force majeur) serta bukan karena itikad buruk ( Psl 1244 dan Psl 1245 KUHPer). Biaya ganjti rugi dan bunga yang dapat dituntut kreditur terdiri atas kerugian yang telah didertitanya dan keuntungan yang sedianya akan diperolehnya. Psl 1245 KUHPer).

sejarah singkat hukum perdata [indonesia] - resume


SEJARAH HUKUM PERDATA
1. HUKUM PERDATA BELANDA
Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis (Code Napoleon). Code Napoleon sendiri disusun berdasarkan hukum Romawi (Corpus Juris Civilis) yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi (pembukuan suatu lapangan hukum secara sistematis dan teratur dalam satu buku) yang bernama code civil (hukum perdata) dan code de commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda. Bahkan sampai 24 tahun sesudah negeri Belanda merdeka dari Perancis tahun 1813, kedua kodifikasi itu masih berlaku di negeri Belanda. Jadi, pada waktu pemerintah Belanda yang telah merdeka belum mampu dalam waktu pendek menciptakan hukum privat yang bersifat nasional (berlaku asas konkordansi).
Kemudian Belanda menginginkan Kitab Undang–Undang Hukum Perdata tersendiri yang lepas dari kekuasaan Perancis. Maka berdasarkan pasal 100 Undang-Undang Dasar Negeri Belanda, tahun 1814 mulai disusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan rencana kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh MR.J.M. KEMPER disebut ONTWERP KEMPER. Sebelum selesai KEMPER meninggal dunia [1924] & usaha pembentukan kodifikasi dilanjutkan NICOLAI, Ketua Pengadilan Tinggi Belgia [pada waktu itu Belgia dan Belanda masih merupakan satu negara]. Keinginan Belanda tersebut direalisasikan dengan pembentukan dua kodifikasi yang bersifat nasional, yang diberi nama :
1. Burgerlijk Wetboek yang disingkat BW [atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda] – Dalam praktek kitab ini akan disingkat dengan KUHPdt.
2. Wetboek van Koophandel disingkat WvK [atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang] - Dalam perkuliahan, kitab ini akan disingkat dengan KUHD.
Pembentukan hukum perdata [Belanda] ini selsai tanggal 6 Juli 1830 dan diberlakukan tanggal 1 Pebruari 1830. Tetapi bulan Agustus 1830 terjadi pemberontakan di bagian selatan Belanda [kerajaan Belgia] sehingga kodifikasi ditangguhkan dan baru terlaksanan tanggal 1 Oktober 1838. Meskipun BW dan WvK Belanda adalah kodifikasi bentukan nasional Belanda, isi dan bentuknya sebagian besar serupa dengan Code Civil dan Code De Commerse Perancis. Menurut Prof Mr J, Van Kan BW adalah saduran dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda.
2. HUKUM PERDATA INDONESIA
Karena Belanda pernah menjajah Indonesia, maka KUHPdt.-Belanda ini diusahakan supaya dapat berlaku pula di wilayah Hindia Belanda. Caranya ialah dibentuk B.W. Hindia Belanda yang susunan dan isinya serupa dengan BW Belanda. Untuk kodifikasi KUHPdt. di Indonesia dibentuk sebuah panitia yang diketuai oleh Mr. C.J. Scholten van Oud Haarlem. Kodifikasi yang dihasilkan diharapkan memiliki kesesuaian antara hukum dan keadaan di Indonesia dengan hukum dan keadaan di negeri Belanda. Disamping telah membentuk panitia, pemerintah Belanda mengangkat pula Mr. C.C. Hagemann sebagai ketua Mahkamah Agung di Hindia Belanda (Hooggerechtshof) yang diberi tugas istimewa untuk turut mempersiapkan kodifikasi di Indonesia. Mr. C.C. Hagemann dalam hal tidak berhasil, sehingga tahun 1836 ditarik kembali ke negeri Belanda. Kedudukannya sebagai ketua Mahkamah Agung di Indonesia diganti oleh Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem.
Pada 31 Oktober 1837, Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem di angkat menjadi keua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai anggota. Panitia tersebut juga belum berhasil.Akhirnya dibentuk panitia baru yang diketuai Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem lagi,tetapi anggotanya diganti yaitu Mr. J.Schneither dan Mr. A.J. van Nes. Pada akhirnya panitia inilah yang berhasil mengkodifikasi KUHPdt Indonesia maka KUHPdt. Belanda banyak menjiwai KUHPdt. Indonesia karena KUHPdt. Belanda dicontoh untuk kodifikasi KUHPdt. Indonesia. Kodifikasi KUHPdt. Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1948.
Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPdt. Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang baru berdasarkan Undang – Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang – Undang Hukun Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.
Pasal 2 ATURAN PERALIHAN UUD 1945
Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini.
Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat [Belanda] yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagaian materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai Perkawinan, Hipotik, Kepailitan, Fidusia sebagai contoh Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960.
3. B.W./KUHPdt SEBAGAI HIMPUNAN TAK TERTULIS
B.W. di Hindia Belanda sebenarnya diperuntukkan bagi penduduk golongan Eropa & yang dipersamakan berdasarkan pasal 131 I.S jo 163 I.S. Setelah Indonesia merdeka, keberlakuan bagi WNI keturunan Eropa & yang dipersamakan ini terus berlangsung. Keberlakuan demikian adalah formal berdasakan aturan peralihan UUD 1945. Bagi Negara Indonesia, berlakunya hukum perdata semacam ini jelas berbau kolonial yang membedakan WNI berdasarkan keturunannya [diskriminasi]. Disamping itu materi yang diatur dalam B.W. sebagian ada yang tidak sesuai lagi dengan Pancasila dasar negara dan pandangan hidup bangsaIndonesia serta tidak sesuai dengan aspirasi negara dan bangsa merdeka. Berdasarkan pertimbangan situasi, kondisi sebagai negara dan bangsa yang merdeka, maka dalam rangka penyesuaian hukum kolonial menuju hukumIndonesia merdeka, pada tahun 1962 [Dr. Sahardjo, SH.-Menteri Kehakiman RIpada saat itu] mengeluarkan gagasan yang menganggap B.W ( KUHPdt ) Indonesiasebagai himpunan hukum tak tertulis. Maka B.W. selanjutnya dipedomani oleh semua Warga Negara Indonesia. Ketentuanyg sesuai boleh diikuti dan yang tidak sesuai dapat ditinggalkan.
4. SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG RI NO. 3 TAHUN 1963
Berdasarkan gagasan Menteri Kehakiman Dr. Sahardjo, S.H. ini MA-RI tahun 1963 mengeluarkan Surat Edaran No. 3 tahun 1963 yang ditujukan kepada semua Ketua Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia. Isi Surat Edaran tersebut, yaitu MA-RI menganggap tidak berlaku lagi ketentuan di dalam KUHPdt. antara lain pasal berikut :
1.                  Pasal 108 & 110 BW tetang wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum & untuk menghadap dimuka pengadilan tanpa izin atau bantuan suaminya. Dengan demikian tentang hal ini tidak ada lagi perbedaan antara semua WNI.
2.                  Pasal 284 [3] KUHPdt. mengenai pengakuan anak yang lahir diluar perkawinan oleh perempuan Indonesia asli. Dengan demikian pengakuan anak tidak lagi berakibat terputusnya hubungan hukum antara ibu dan anak, sehingga tentang hal ini juga tidak ada lagi perbedaan antara semua WNI.
3.                  Pasal 1682 KUHPdt. yang mengharuskan dilakukannya suatu penghibahan dengan akta notaris.
4.                  Pasal 1579 KUHPdt. yang menentukan bahwa dalam hal sewa menyewa barang, pemilik barang tidak dapat menghentikan penyewaan dengan mengatakan bahwa ia akan memakai sendiri barangnya, kecuali apabila pada watu membentuk persetujuan sewa menyewa ini dijanjikan diperbolehkan
5.                  Pasal 1238 KUHPdt. yang menimyimpulkan bahwa pelaksanaan suatu perjanjian hanya dapat diminta dimuka Hakim, apabila gugatan ini didahului oleh suatu penagihan tertulis. Mahkamah Agung pernah memutuskan antara dua orang Tionghoa, bahwa pengiriman turunan surat gugat kepada tergugat dapat dianggap sebagai penagihan oleh karena tergugat masih dapat menghindarkan terkabulannya gugatan dengan membayar hutangnya sebelum hari sidang pengadilan.
6.                  Pasal 1460 KUHPdt. tetang resiko seorang pembeli barang, yang menentukan bahwa suatu barang tertentu yang sudah dijanjikan dijual. Sejak saat itu adalah atas tanggungan pembeli, meskipun penyerahan barang itu belum dilakukan . Dengan tidak lagi berlakunya pasal ini, maka harus ditinjau dari setiap keadaan, apakah tidak sepantasnya pertangungjawaban atau resiko atas musnahnya barang yang sudah dijanjikan dijual tetapi belum diserahkan harus dibagi antara kedua belah pihak ; dan kalau YA sampai dimana pertanggung-jawaban dimaksud.
7.                  Pasal 1603 x ayat 1 dan 2 KUHPdt. yang mengadakan diskriminasi antara orang Eropa disatu pihak dan orang bukan Eropa dilain pihak mengenai perjanjian perburuhan
5. HUKUM PERDATA NASIONAL
Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku dan diberlakukan di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia meliputi juga hukum perdata barat dan hukum perdata nasional. Hukum perdata barat adalah hukum bekas peninggalan kolonia Belanda yang berlaku di Indonesiaberdasarkan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, mis. BW/KUHPdt. Hukum perdata nasional adalah hukum perdata yang diciptakan Pemerintah Indonesia yang sah dan berdaulat. Kriteria bahwa hukum perdata dikatakan nasional, yaitu :
a. Berasal dari hukum perdata Indonesia. Hukum perdata barat sebagian sesuai dengan sistem nilai budaya Pancasila. Hukum perdata barat yang sesuai dengan sistem nilai budaya Pancasila dapat dan bahkan telah diresepsi oleh bangsa Indonesia.Oleh karena itu ia dapat diambil alih dan dijadikan bahan hukum perdata nasional. Disamping Hukum perdata barat, juga hukum perdata tak tertulis yang sudah berkembang sedemikian rupa sehingga mempunyai nilai yang dapat diikuti dan dipedomani oleh seluruh rakyat Indonesia. Dapat diambil dan dijadikan bahan hukum perdata nasional. Untuk mengetahui hal ini tentunya dilakuan penelitian lebih dahulu terutama melalui Yurisprudensi. Dalam Ketetapan MPR No.IV/MPR/1978 Jo. Ketetapan MPR No.II/MPR/1988 tentang GBHN, terutama pembangunan di bidang hukum antara lain dinyatakan bahwa pembinaan hukum nasional didasarkan pada hukum yang hidup didalam masyarakat . Hukum yang hidup dalam masyarakat dapat diartikan antara lain hukum perdata barat yang sesuai dengan sistem nilai budaya Pancasila, hukum perdata tertulis buatan Hakim atau yurisprudensi dan hukum adat.
b. Berdasarkan Sistem Nilai Budaya Pancasila. Hukum perdata nasional harus didasarkan pada sistem nilai budaya Pancasila, maksudnya adalah konsepsi tentang nilai yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar anggota masyarakat. Apabila nilai yang dimaksud adalah nilai Pancasila maka sistem nilai budaya disebut sitem nilai budaya Pancasila. Sistem nilai budaya demkian kuat meresap dalam jiwa anggota masyarakat sehingga sukar diganti dengan nilai budaya lain dalam waktu singkat. Sistem nilai budaya Pancasila berfungsi sebagai sumber dan pedoman tertinggi bagi peraturan hukum & perilaku anggota masyarakat bangsa Indonesia. Dengan demikian dapat diuji benarkah peraturan hukum perdata barat. Hukum perdata tidak tertulis, buatan hakim/yurisprudensi & peraturan hukum adat yang akan diambil sebagai bahan hukum perdata nasional bersumber, berpedoman, apakah sudah sesuai dengan sistem nilai budaya Pancasila? Jika jawabnya YA benarkah peraturan hukum perdata yang diuraikan tadi dijadikan hukum perdata nasional.
c. Produk Hukum Pembentukan Undang – Undang Indonesia. Hukum perdata nasional harus produk hukum pembuat Undang-Undang Indonesia. Menurut UUD 1945 pembuat Undang-Undang adalah Presiden bersama dengan DPR [pasal 5 ayat 1 UUD 1945]. Dalam GBHN-pun digariskan bahwa pembinaan & pembentukan hukum nasional diarahkan pada bentuk tertulis. Ini dapat diartikan bahwa pembentukan hukum perdata nasional perlu dituangkan dalam bentuk Undang-Undang bahkan diusahakan dalam bentuk kondifikasi. Jika dalam bentuk Undang-Undang maka hukum perdata nasional harus produk hukum pembentukan Undang-Undang Indonesia. Contoh Undang-Undang Perkawinan No.1/1974, Undang-Undang Pokok Agraria No. 5/1960.
d. Berlaku Untuk Semua Warga Negara Indonesia. Hukum perdata nasional harus berlaku untuk semua Warga Negara Indonesia, tanpa terkecuali dan tanpa memandang SARA. Warga Negara Indonesia adalah pendukung hak dan kewajiban yang secara keseluruhan membentuk satu bangsa merdeka yaituIndonesia. Keberlakuan hukum perdata nasional untuk semua WNI berarti menciptakan unifikasi hukum sesuai dengan GBHN. Dan melenyapkan sifat diskriminatif sisa politik hukum kolonia Belanda. Unifikasi hukum tertulis yang ada sekarang sudah dikenal, diikuti dan berlaku umum dalam masyarakat.
e. Berlaku Untuk Seluruh Wilayah Indonesia. Hukum perdata nasional harus berlaku bagi seluruh wilayah Indonesia. Wilayah Indonesia adalah wilayah negara RI termasuk perwakilan Indonesia di luar negeri. Keberlakuan hukum perdata nasional untuk semua WNI di seluruh wilayah Indonesia merupakan unifikasi hukum perdata sebagai pencerminan sistem nilai budaya Pancasila terutama nilai dalam sila ke tiga “ Persatuan Indonesia” Hal ini sesuai dengan GBHN mengenai pembinaan hukum nasional.
SUMBER-SUMBER HUKUM PERDATA
1. Arti Sumber Hukum. Yang dimaksud dengan sumber hukum perdata adalah asal mula hukum perdata, atau tempat dimana hukum perdata ditemukan . Asal mula menunjukank kepada sejarah asal dan pembentukanya. Sedangan tempat menunjukan kepada rumusan dimuat dan dapat dibaca .
2. Sumber dalam arti formal. Sumber dalam arti sejarah asal nya hukum perdata adalah hukum perdata buatan pemerintah kolonia Belanda yang terhimpun dalam B.W ( KUHPdt ) . Berdasarkan aturan peralihan UUD 1945 B. W ( KUHPdt ) dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum diganti dengan undang – undang baru berdasarkan UUD 1945. Sumber dalam arti pembentukannya adalah pembentukan undang – undang berdasarkan UUD 1945. UUD 1945 ditetapkan oleh rakyat Indonesia yang didalamnya termasuk juga aturan peralihan.Atas dasar aturan peralihan B.W ( KUHPdt ) dinyatakan tetap berlaku. Ini berarti pembentukan UUD Indonesia ikut dinyatakan berlakunya B. W ( KUHPdt ). Sumber dalam arti asal mula disebut sumber hukum dalam arti formal.
3. Sumber dalam Arti Material. Sumber dalam arti “tempat” adalah Lembaran Negara atau dahulu dikenal dengan istilah Staatsblad, dimana dirumuskan ketentuan Undang-Undang hukum perdata dapat dibaca oleh umum. Misalnya Stb.1847-23 memuat B.W/KUHPdt. Selain itu juga termasuk sumber dalam arti tempat dimana hukum perdata pembentukan Hakim . Misalnya yurisprudensi MA mengenai warisan, badan hukum, hak atas tanah. Sumber dalam arti tempat disebut sumber dalam arti material. Sumber Hukum perdata dalam arti material umumnya masih bekas peninggalan zaman kolonia, terutama yang terdapat di dalam Staatsblad. Sedang yang lain sebagian besar berupa yurisprudensi MA-RI & sebagian kecil saja dalam Lembaran Negara RI.
KODIFIKASI DAN SISTEMATIKA
1. Himpunan Undang-Undang & Kodifikasi. Bidang hukum tertentu dapat dibuat & dihimpun dalam bentuk Undang-Undang biasa dan dapat pula dalam bentuk kodifikasi. Bidang hukum tertentu bidang misalkan, hukum perdata, pidana, dagang, acara perdata, acara pidana, tata negara. Apabila dibuat dan dihimpun dalam bentuk Undang-Undang biasa, maka Undang-Undang yang telah diundangkan dalam lembaran negara masih memerlukan peraturan pelaksanaan yang terpisah dalam bentuk tertentu, mis. PP, PerPres. Dengan demikian Undang-Undang yang dibuat belum dapat dilaksanakan tanpa dibuat peraturan pelaksananya. Undang-Undang & peraturan pelaksanaannya dapat dihimpun dalam satu bundle peraturan perundang-undangan. Himpunan ini disebut “himpunan peraturan-perundangan” mis. himpunan peraturan agraria, himpunan peraturan perkawinan, himpunan peraturan. Apabila Undang-Undang dibuat dalam bentuk kodifikasi, maka unsur-unsur yang perlu dipenuhi adalah :
q meliputi bidang hukum tertentu
q tersusun secara sistematis
q memuat materi yang lengkap
q penerapannya memberikan penyelesaian tuntas
Bidang hukum tertentu yang bisa dikodifikasikan & sudah pernah terbentuk misalnya bidang hukum perdata dagang, hukum pidana, hukum acara perdata dan acara pidana . Materi bidang hukum yang dikodifikasikan tersusun secara sistematis artinya disusun secara berurutan, tidak tumpang tindih dari bentuk dan pengertian umum kepada bentuk & pengertian khusus. Tidak ada pertentangan materi antara pasal sebelumnya dan pasal berikutnya. Memuat materi yang lengkap , artinya bidang hukum termuat semuanya. Memberikan penyelesaian tuntas , artinya tidak lagi memerlukan peratuaran pelaksana semua ketentuan langsung dapat diterapakan dan diikuti. Kodifikasi berasal dari kata COPE [Perancis] artinya kitab Undang-Undang. Kodifikasi artinya penghimpunan ketentuan bidang hukum tertentu dalam kitab Undang-Undang yang tersusun secara sistematis, lengkap dan tuntas. Contoh kodifikasi ialah Burgelijk Wetboek, Wetboek van Koophandel,Failissement Verordening, Wetboek van Strafecht.
2. Sistematika Kodifikasi. Sistematika artinya susunan yang teratur secara sistematis. Sistematika kodifikasi artinya susunan yang diatur dari suatu kodifikasi. Sistematika meliputi bentuk dan isi kodifikasi. Sistematika kodifikasi hukum perdata meliputi bentuk dan isi. Sistematika bentuk Kitab Undang-Undang Hukum Perdata meliputi urutan bentuk bagian terbesar sampai pada bentuk bagian terkecil yaitu :
q kitab undang – undang tersusun atas buku – buku
q tiap buku tersusun atas bab – bab
q tiap bab tersusun atas bagian – bagian
q tiap bagian tersusun atas pasal – pasal
q tiap pasal tersusun atas ayat – ayat
Sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Perdata meliputi kelompok materi berdasarkan sitematika fungsi. Sistematika fungsional ada 2 macam yaitu menurut pembentuk Undang-Undang & menurut ilmu pengetahuan hukum. Sistematika isi menurut pembentukan B.W miliputi 4 kelompok materi sebagai berikut :
I. kelompok materi mengenai orang
II. kelompok materi mengenai benda
III. kelompok nateri mengenai perikatan
IV. kelompok materi mengenai pembuktian
Sedangkan sistematika menurut ilmu pengetahuan hukum ada 4 yaitu :
I. kelompok materi mengenai orang
II. kelompok materi mengenai keluarga
III. kelompok materi mengenai harta kekayaan
IV. kelompok materi mengenai pewarisan
Apabila sistematika bentuk dan isi digabung maka ditemukan bahwa KUHPdt. Terdiri dari :
I. Buku I mengenai Orang
II. Buku II mengenai Benda
III. Buku II mengenai Perikatan
IV. Buku IV mengenai Pembuktian
SISTEMATIKA KUHPdt.
Mengenai sistematika isi ada perbedaan antara sistematika KUHPdt. Berdasarkan pembentuk Undang-Undang dan sistematika KUHPdt. Berdasarkan ilmu pengetahuan hukum. Perbedaan terjadi, karena latar belakang penyusunannya. Penyusunan KUHPdt. didasarkan pada sistem individualisme sebagai pengaruh revolusi Perancis. Hak milik adalah hak sentral, dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Hak dan kebebasan setiap individu harus dijamin. Sedangkan sisitematika berdasarkan ilmu pengetahuan hukum didasarkan pada perkembangan siklus kehidupan manusia yang selalu melalui proses lahir-dewasa-kawin–cari harta/nafkah hidup–mati (terjadi pewarisan ). Dengan demikian perbedaan sistematika tersebut dapat dilihat sebagai berikut :
I. Buku I KUHPdt. memuat ketentuan mengenai manusia pribadi dan keluarga (perkawinan) sedangkan ilmu pengetahuan hukum memuat ketetuan mengenai pribadi dan badan hukum, keduanya sebagai pendukung hak dan kewajiban.
II. Buku II KUHPdt. memuat ketentuan mengenai benda dan waris. Sedangkan ilmu pengetahuan hukum mengenai keluarga (perkawinan dan segala akibatnya).
III. Buku III KUHPdt. memuat ketentuan mengenai perikatan. Sedangkan ilmu pengetahuan hukum memuat ketentuan mengenai harta kekayaan yang meliputi benda dan perikatan.
IV. Buku IV KUHPdt. memuat ketentuan mengenai bukti dan daluwarsa. Sedangkan ilmu pengetahuan hukum memuat ketentuan mengenai pewarisan, sedangkan bukti dan daluarsa termasuk materi hukum perdata formal (hukum acara perdata).
BERLAKUNYA HUKUM PERDATA
Berlaku artinya diterima untuk dilaksanakan. Berlakunya hukum perdata artinya diterimanya hukum perdata untuk dilaksanakan . Adapun dasar berlakunya hukum perdata adalah ketentuan undang – undang , perjanjian yang dibuat oleh pihak, dan keputusan hakim. Realisasi keberlakuan adalah pelaksanaan kewajiban hukum yaitu melaksanakan perintah dan menjauhi larangan yang ditetapkan oleh hukum. Kewajiban selalu diimbangi dengan hak.
1. Ketentuan Undang-Undang. Berlakunya hukum perdata karena ketentuan Undang-Undang artinya Undang-Undang menetapkan kewajiban agar hukum dilaksanakan. Undang-Undang mengikat semua orang atau setiap orang wajib mematuhi Undang-Undang, yang jika tidak patuhi akan disebut sebagai pelanggaran. Berlakunya hukum perdata ada bersifat memaksa dan bersifat sukarela. Bersifat memaksa artinya kewajiban hukum harus dilaksanakan baik dengan berbuat atau tidak berbuat. Pelaksanan kewajiban hukum dengan berbuat misalnya :
a. Dalam perkawinan, kewajiban untuk memenuhi syarat & prosedur kawin supaya memperoleh hak kehidupan suami isteri;
b. Dalam mendirikan yayasan kewajiabn memenuhi syarat akta Notaris, supaya memperoleh hak status hukum;
c. Dalam perbuatan melanggar hukum kewajiban membayar kerugian kepada yang dirugikan.
d. Dalam jual beli kewajiban pembeli membayar harga barang supaya memperoleh hak atas barang yang dibeli
Pelaksanaan kewajiban hukum untuk tidak berbuat misalnya :
a. Dalam perkawinan, kewajiban tidak mengawini lebih dari seorang wanita dalam waktu yang sama supaya memperoleh predikat monogami.
b. Dalam ikatan perkawinan, kewajiban tidak bersetubuh dengan wanita/pria yang bukan istri/suami sendiri, supaya memperoleh hak atas status suami atau isteri yang baik, jujur, tidak menyeleweng
c. Dalam karya cipta, kewajiban untuk tidak membajak hak cipta milik orang lain , sehingga berhak untuk bebas dari penututan.
Sukarela berarti terserah pada kehendak yang bersangkutan apakah bersedia melaksanakan kewajiban tersebut atau tidak [tidak ada paksaan], kewajiaban tersebut menyangkut kepentingan sendiri. Dalam pelaksanaan kewajiban sukarela saksi hukum tidak berperan. Adapun kewajiban hukum karena adanya hubungan hukum. Hubungan hukum tersebut ditetapakan oleh undang – undang . Jadi Undang-Undang menciptakan hubungan hukum antara para pihak. Hubungan mengandung kewajiban dan hak yang bertimbal balik antara pihak pihak. Hubungan hukum dapat tercipta karena adanya peristiwa hukum karena :
a. kejadian misalnya kelahiran, kematian;
b. perbuatan misalnya jual beli, sewa menyewa
c. keadaan misalnya letak rumah, batas antara dua pihak
Dalam Undang-Undang ditentukan bila terjadi kelahiran, maka timbul hubungan hukum antara orang tua dan anak yaitu hubungan timbal balik adanya hak dan kewajiban
2. Perjanjian antar para pihak. Hukum perdata juga berlaku karena ditentukan oleh perjanjian. Artinya perjanjian yang dibuat oleh para pihak menetapkan diterimanya kewajiban hukum untuk dilaksanakan oleh para pihak. Perjanjian mengikat pihak yang membuatnya. Perjanjian harus sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang membuatnya. Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikat baik (pasal 1338 KUHPdt). Perjanjian menciptakan hubungan hukum antara pihak–pihak yang membuatnya. Hubungan hukum mengandung kewajiban dan hak yang bertimbal balik antara para pihak. Hubungan hukum terjadi karena peristiwa hukum yang berupa perbuatan perjanjian misalnya, Jual beli, sewa menyewa, hutang piutang. Ada 2 macam perjanjian yaitu :
1. Perjajian harta kekayaan yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban dan hak yang bertimbal balik mengenai harta kekayaan. Ada 2 jenis :
q perjanjian yang bersifat obligator artinya baru dalam taraf melahirkan kewajiban dan hak;
q perjanjian yang bersifat zakelijk ( kebendaan ) artinya dalam taraf memindahkan hak sebagai realisasi perjajian obligator.
2. Perjanjian perkawinan yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban dan hak suami isteri secara bertimbal balik dalam hubungan perkawinan. Perjanjian terletak dalam bidang moral dan kesusilaan.
Supaya penerimaan kewajiban dan hak yang bertimbal balik lebih mantap maka pada perjanjian tertentu pembuatannya dilakukan secara tertulis di depan Notaris.
3. Keputusan Hakim. Hukum perdata berlaku karena ditetapkan oleh hakim melalui putusan. Hal ini dapat terjadi karena ada perbedaan dalam hukum perdata. Untuk menyelesaikannya dan menetapkan siapa sebenarnya berkewajiban dan berhak menuntut hukum perdata, maka hakim karena jabatanya memutuskan sengketa tersebut. Putusan hakim bersifat memaksa artinya jika ada pihak yang tidak mematuhinya, hakim dapat memerintahkan pihak yang bersangkutan supaya mematuhi dengan kesadaran sendiri. Jika masih tidak mematuhinya hakim dapat melaksanakan putusannya dengan paksa, bila perlu dengan bantuan alat negara.
4. Akibat Berlakunya Hukum Perdata. Sebagai akibat berlakunya hukum perdata, yaitu adanya pelaksanaan pemenuhan [prestasi] dan realisasi kewajiban hukum perdata. Ada 3 kemungkinan hasilnya yaitu [1] tercapainya tujuan apabila kedua belah pihak memenuhi kewajiban dan hak timbal balik secara penuh [2] tidak tercapai tujuan, apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban [3] terjadi keadaan yang bukan tujuan yaitu kerugian akibat perbuatan melanggar hukum. Apabila kedua belah pihak tidak memenuhi kewajiban hukum yang telah ditetapkan dalam perjanjian tidak akan menimbulkan kewajiban. Sebab kewajiban hukum pada hakekatnya baru dalam taraf diterima untuk dilaksanakan. Jadi belum dilaksanakan kedua belah pihak . Tetapi apabila salah satu pihak telah melaksanakan kewajiban hukum sedang pihak lainnya belum/tidak melaksanakan kewajiban hukum barulah ada masalah wanprestasi yang mengakibatkan tujuan tidak tercapai, sehingga menimbulkan sanksi hukum.