GARIS-GARIS
BESAR HUKUM ACARA PERDATA
1. Hukum acara perdata adalah hukum yang mengatur
bagaimana cara mengajukan gugatan, memeriksa, mengadili dan memutus, melakukan
eksekusi melalui hakim dalam lingkungan peradilan perdata. = hukum formil
2. Asas/ Dasar/ Prinsip
a. Hakim bersifat pasif, yang meliputi
ruang lingkup dan cakupan perkara
b. Hakim bersifat menunggu. = inisiatif
perkara
c. Setiap putusan ada alasan atau dasar
hukum
3. UU No 4/ 2004; 14/1970; 35/1999 =
hakim tidak berwenang untuk menuntut
4. Dalam proses pemeriksaan perkara,
maka hakim harus bersifat aktif dalam hal memberikan porsi yang sama (keadilan)
kepada kedua belah pihak, yaitu equality before law.
5. Proses peradilan: gugatan, jawaban,
replik, duplik, pembuktian, kesimpulan, putusan.
6. UU PA, wakaf, yayasan, perceraian,
hibah, waris, sodaqoh dan ekonomi syariah/ perbankan syariah = yang perlu
dipelajari di HAP
7. UU yang mengatur PA = UU No 7/1989
dan No 3/2006 dan MK adalah No 24/2004
8. Sumber Hukum Acara Perdata
a. HIR (Jawa dan Madura)
b. Rbg (Luar Jawa dan Madura)
9. Tuntutan Hak (Tigen rechting) =
jangan sampai main hakim sendiri = permohonan (pemohon dan termohon) &
gugatan (penggugat & tergugat)
10.
Perbedaan ciri2 gugatan dan
permohonan
Gugatan = ada sengketa, permohonan tidak, contoh: permohonan
poligami, dispensasi nikah, istat nikah
11.
Inisiatif yang mengajukan hukum =
penggugat / pemohon
12.
UU No. 18/2003 = tentang advikat
13.
Pencabutan dan perubahan gugatan
diajukan oleh penggugat
a. Mediator = hakim dan mediator (tidak
perlu pembuktian)
b. Pencabutan dan perubahan gugatan
c. Pembacaan – hasil mediasi
d. Jawaban
- Eksepsi (pihak, relative, absolute,
nebis in idem, daluarsa, premature)
- Pokok perkara
- Gugatan rekopensi (mempermudah
proses beracara: cepat, Sederhana, gratis)
14.
Urutan beracara
a. Gugatan
b. Mediasi
c. Jawaban (eksepsi, pokok perkara,
rekopensi)
d. Replik (penggugat, lugas)
e. Duplik (tergugat, penggugat
rekopensi)
f. Pembuktian (pembuktian oleh
masing-masing pihak apakah benar/ tidak statemen masing2)
g. Kesimpulan
h. Putusan
15.
Pembuktian adalah mengungkap
kebenaran peristiwa masa lalu (historis)
Menurut Pitlo :
- Mendahulukan adanya hak (penggugat)
- Menyangkal adanya hak (tergugat)
- Meneguhkan terjadinya peristiwa
(P/T)
Dengan demikian, beban pembuktian ada 2: yaitu penggugat dan
tergugat, bukan pada hakim
16.
Alat pembuktian
a. Surat
- Akta (otentik = sempurna, bawah
tangan = sempurna apabila tidak ada sanggahan)
- Lain atau notulen
b. Saksi (saksi: mengikat, saksi ahli:
memberi keterangan)
- Dewasa
- Tidak sedang di bawah pengampuan
- Bukan suami/ istri atau mantan
- Tidak ada keterkaitan jabatan
- Tidak ada hubungan saudara
c. Pengakuan
- Sebagian
- Keseluruhan
d. Pengakuan (jarang dipakai)
e. Sumpah
- Suplatoir (tambahan) = majelis hakim
- Decisair (sumpah pemutus) = bisa
dari penggugat/ tergugat
17.
Pasal 108 KHI : “hak hadlanah ada
pada ibu karena ibu tidak terbukti mempunyai sifat buruk dan mendidik.”
18.
Pasal 19 huruf a-f UU no 1 / 1974 =
tidak memberi nafkah, dll
19.
Banding, karena hakim menolak
gugatan secara tidak jelas dan tanpa landasan hukum.
20.
PP No 10 / 1983 = 1/3 gaji PNS untuk
istri apabila cerai, anak juga 1/3
21.
Pasal 189 ayat 2 Rbg = semua putusan
hakim harus total/ keseluruhan
22.
Hakim
a. Putusan dijatuhkan dalam siding
terbuka dan jelas
b. Tidak boleh menolak gugatan secara
tidak jelas dan disertai alasan yang cukup
c. Tidak boleh mengabulkan melebihi
posita
- Sehingga tidak terjadi ultra petitum
- Apabila hakim mengabulkan melebihi
petitum maka dianggap melanggar rule of law
23.
Pasal 18 UU No 14/ 1970 Ã No 39/1999 Ã Pasal 20 No 4/2004
= semua putusan pengadilan sah dan memiliki kekuatan hukum
apabila dibuka dalam persidangan terbuka untuk umum. Apabila tidak terbuka,
maka tidak sah.
24.
Sifat Putusan
- Condem la toir : bersifat menghukum,
putusan interlokotoir: putusan yang diputus di sidang setempat
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pengertian Hukum Acara Perdata
Sebagai bagian dari hokum acara (formeel
recht), maka Hukum Acara Perdata mempunyai ketentuan-ketentuan pokok yang
bersifat umum dan dalam penerapannya hukum acara perdata mempunyai fungsi untuk
mempertahankan, memelihara, dan menegakan ketentuan-ketentuan hukum perdata materil. Oleh karena
itu eksistensi hukum acara perdata sangat penting dalam kelangsungan ketentuan
hukum perdata materil.
Adapun beberapa pengertian hukum
acara perdata menurut beberapa pakar hukum
a. Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH
Beliau mengemukakan batasan bahwa
hukum acara perdata sebagai rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana
orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana cara
pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya
peraturan hukum perdata.
b. Prof. Dr. Sudikno Mertukusumo, SH
Member batasan hukum acara perdata
adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya
hukum perdata material dengan perantaraan hakim. Dengan perkataan lain, hukum
acara perdata adalah peraturan hukum yang menetukan bagaimana caranyamenjamin
pelaksanaan hukum perdata material. Lebih kongkrit lagi dapatlah dikatakan
bahwa hukum acara perdata mengatur bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak,
memeriksa serta memutusnya, dan pelaksanaan dari pada putusannya.
c. Prof. Dr. R. Supomo, SH
Dengan tanpa memberikan suatu
batasan tertentu, tapi melalui visi tugas dan peranan hakin menjelaskan
bahwasanya dalam peradilan perdata tugas hakim ialah mempertahankan tata hukum
perdata (burgerlijk rechtsorde) menetapkan apa yang ditentukan oleh
hukum dalam suatu perkara.
Berdasarkan pengertian –pengertian
yang dikemukakan diatas serta dengan bertitik tolak kepada aspek toeritis dalam
praktek peradilan, maka pada asasnya hukum acara perdata adalah :
1. Peraturan hukum yang mengatur dan
menyelenggarakan bagaimana proses seseorang mengajukan perkara perdata kepada
hakim/pengadilan. Dalam konteks ini, pengajuan perkara perdata timbul karena
adanya orang yang merasa haknya dilanggar orang lain, kemudian dibuatlah surat
gugatan sesuai syarat peraturan perundang-undangan.
2. Peraturan hukum yang menjamin,
mengatur dan menyelenggarakan bagaimana proses hakim mengadili perkara perdata.
Dalam mengadili perkara perdata, hakim harus mendengar kedua belah pihak berperkara
(asas Audi Et Alterm Partem). Disamping itu juga, proses
mengadili perkara, hakim juga bertitik tolak kepada peristiwanya hukumnya,
hukum pembuktian dan alat bukti kedua belah pihak sesuai ketentuan
perundang-undangan selaku positif (Ius Constitutum)
3. Peraturan hukum yang mengatur proses
bagaimana caranya hakim memutus perkara perdata.
4. Peraturan hukum yang mengatur
bagaimana tahap dan proses pelaksanaan putusan hakim (Eksekusi)
1.2 Sumber-sumber hukum acara
perdata.
Dalam praktek peradilan di Indonesia
saat ini, sumber-sumber hukum acara perdata terdapat pada berbagai peraturan
perundang-undangan.
a. HIR (Het Herzine Indonesich
Reglemen) atau Reglemen Indonesia Baru, Staatblad 1848.
b. RBg (Reglemen Buitengwesten)
Staatblad 1927 No 277
c. Rv (Reglemen Hukum Acara Perdata
Untuk golongan Eropa) Staatblad No 52 Jo Staatblad 1849 No.63. namun sekarang
ini Rv tidak lagi digunakan karena berisi ketentuan hukum acara perdata khusus
bagi golongan Eropa dan bagi mereka yang dipersamakan dengan mereka dimuka (Raad
van Justitie dan Residentiegerecht. Tetapi Raad Van Justitie telah
dihapus, sehingga Rv tidak berlaku lagi. Akan tetapi dalam praktek peradilan
saat ini eksistensi ketentuan dalam Rv oleh Judex Facti (pengadilan
negeri dan pengadilan tinggi) serta mahkamah agung RI tetap dipergunakan dan
dipertahankan. Mis : Ketentuan tentang Uang paksa(dwangsom) dan
intervensi gugatan perdata.
d. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
e. Undang-Undang.
1. UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman.
2. UU No.5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah
Agung, yang mengatur tentang hukum acara kasasi
3. UU No.8 Tahuun 2004 Tentang
Peradilan Umum.
4. UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan
Agama.
5. UU No.1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan beserta peraturan pelaksanaannya.
6. UU No.2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
1.3 Asas-Asas Hukum Acara Perdata
Indonesia
Bertitik tolak kepada praktek
peradilan Indonesia maka dapatlah disebutkan beberapa asas-asas umum hukum
acara perdata Indonesia.
a. Peradilan yang terbuka untuk umum (Openbaarheid
Van Rechtsspraak)
Peradilan yang terbuka untuk umum
merupakan aspek fundamental dari hukum acara perdata. Sebelum perkara
disidangkan, maka hakim ketua harus menyatakan bahwa “persidangan terbuka untuk
umum” sepanjang undang-undang tidak menentukan lain. (Mis : dalam perkara
persidangan perkara perceraian siding dinyatakan tertutup untuk umum. Apabila
hal ini tidak dipenuhi maka akan mengakibatkan putusan batal demi hukum (Pasal
19 Ayat 1 dan 2 UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
b. Hakim bersifat Pasif (Lijdelijkeheid
Van De Rehter)
Dalam asas ini terdapat sebuah
aturan yang dikenal dengan (Nemo Judex Sine Actore) yang artinya apabila
gugatan tidak diajukan oleh para pihak, maka tidak ada hakim yang mengadili
perkara bersangkutan.
c. Mendengar Kedua belah pihak.
d. Pemeriksaan dalam dua instansi (Onderzoek
In Tween Instanties)
e. Pengawasan Putusan Lewat Kasasi.
f. Peradilan dengan membayar biaya.
Peradilan perkara perdata pada asanya
dikenakan biaya perkara (Pasal 4 Ayat 2, Pasal 5 Ayat 2, UU No 4 Tahun 2004.
Pasal 121 Ayat 4 HIR/Pasal 145 Ayat 4, 192, 194 RBg. Bagi mereka yang tidak
mampu membayar biaya perkara dapat mengajukan permohonan kepada ketua
pengadilan negeri setempat untuk berperkara secara Cuma-Cuma (Pro Deo).
1.4 Susunan Badan Peradilan di
Indonesia.
Menurut UUD 1945 bahwa kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh mahkamah agung
dan badan peradilan dibawahnya. Jenis dan dasar badan peradilan di Indonesia
terdapat dalam pasal 10 ayat (1) UU No 4 Tahun 2004, dikenal empat lingkungan
peradilan di Indonesia yaitu :
a. Peradilan Umum (UU No 8 Tahun 2004)
b. Peradilan Agama (UU No 3 Tahun 2006)
Dalam perdalilan agama membawahi
Pengadilan Agama Neger
c. Peradilan Militer (UU No 31 Tahun
1997)
d. Peradilan Tata Usaha Negara (UU No 9
Tahun 2004)
Keempat badan peradilan tersebut
kesemuanya dibawah Mahkamah Agung RI. Berdasarkan pasal 11 (1) UU No 4 Tahun
2004. Mahkamah Agung RI merupakan pengadilan Negara tertinggi dari keempat
lingkungan peradilan sebagaimana disebutkan diatas. Selanjutnya pada ayat dua
(2) disebutkan, kewenangan Mahkamah Agung RI adalah :
a. Mengadili pada tingkat kasasi
terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan dimana
semua lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung.
b. Menguji peraturan perundang-undangan
di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
c. Kewenangan lain yang diberikan
undang-undang.
Peradilan umum adalah peradilan bagi
rakyat pada umumnya mengenai perkara perdata maupun pidana yang dijalankan oleh
pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Di dalam peradilan umum diberntuk
beberapa pengadilan khusus yang berada dilingkungan pengadilan negeri yaitu :
1. Pengadilan niaga (pasal 280 UU No.4
Tahun 1998 Tentang kepailitan)
2. Pengadilan anak (pasal 2 UU No.3
Tahun 1997 Tentang pengadilan anak)
3. Pengadilan hak asasi manusia (pasal
2 UU No.26 Tahun 2000 Tentang pengadilan HAM)
4. Pengadilan tindak pidana korupsi
5. Pengadilan hubungan industrial
(pasal 1 angka 17 UU No.2 Tahun 2004 Tentang penyelesaian Perselisihan hubungan
industrial.)
6. Pengadilan perikanan.
Peradilan Agama, Militer dan Tata
Usaha Negara merupakan peradilan khusus karena mengadili perkara tertentu atau
mengenai golongan rakyat tertentu. Berdasarkan UU No.3 Tahun 2006 Tentang
Pengadilan Agama, kewenangan pengadilan agama diperluas sebagaimana diatur
dalam pasal 49 yaitu :pengadilan agama bertugas dan berwewenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang
beragama Islam di bidang : perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, infaq,
zakat, dan ekonomi syari’ah.
BAB II
PEMBERIAN KUASA (LASTGEVING)
2.1 Pemberian Kuasa (Lastgeving)
A. Pengertian Kuasa.
Secara Umum, surat kuasa tunduk pada
prinsip hukum yang diatur dalam BAB ke enambelas, buku III KUHPerdata tentang
perikatan. Sedangkan aturan khususnya diatur dan tunduk pada ketentuan hukum
acara yang digariskan HIR dan RBG. Untuk memahami arti dari pengertian kuasa
secara umum dapat dirujuk pada pasal 1792 KUHPerdta yang berbunyi “Pemberian
kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seseorang memberikan kekuasaan
kepada orang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan
suatu urusan”
Bertitik tolak dari pasal 1792
KUHPerdata tersebut diatas, dalam perjanjian kuasa terdapat dua pihak terdiri
dari :
a. Pemberi kuasa atau letsgever (Instruction,
Mandate)
b. Penerima kuasa yang diberi perintah
atau mandate melakukan sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa.
B. Berakhirnya Kuasa
Berdasarkan pasal 1813 KUHPerdata,
hal-hal yang dapat mengakhiri pemberian kuasa adalah sebagai berikut :
1. Pemberi kuasa menarik kembaliu
secara sepihak.
Ketentuan pencabutan kembali kuasa
oleh pemberi kuasa, diatur lebih lanjut dalam pasal 1814 KUHPerdata dengan
acuan. :
a. Pencabutan tanpa melakuakan
persetujuan dari penerima kuasa
b. Pencabutan dapat dilakuakan secara
tegas dalam bentuk mencabut secara tegas dan tertulis atau meminta kembali
surat kuasa dari penerima kuasa.
c. Pencabutan secara diam-diam
berdasarkan pasal 1816 KUHPerdata.
2. Salah satu puhak meninggal dunia
Dengan sendirinya pemberian kuasa
berakhir demi hukum.
3. Penerima kuasa melepas kuasa.
Pasal 1817 KUHPerdata member hak
secara sepihak kepada kuasa untuk melepas kuasa yang diterimanya dengan syarat
:
a. Hsarus memberitahu kehendak
pelepasan itu kepada pemberi kuasa
b. Pelepasan tidak boleh dilakuakan
pada saat yang tidak layak. Ukuran tentang hal ini didasarkan pada perkiraan
objektif, apakah pelepasan itu dapat menimbulkan kerugian kepada pemberi kuasa.
C. Jenis-Jenis Kuasa.
1. Kuasa Umum (pasal 1795 KUHPerdata)
2. Kuasa khusus (pasal 1795 KUHPerdata)
3. Kuasa Istimewa (pasal 1796
KUHPerdata)
4. Kuasa perantara (pasal 1792
KUHPerdata dan pasal 62 KUHD)
D. Kuasa Menurut Hukum
Kuasa menurut hukum disebut juga Wettelijke
Vertegnwoording atau Legal Mandatory. Maksudnya undang-undang
sendiri telah menetapkan seseorang atau suatu badan untuk dengan sendirinya
bertindak mewakili. Beberapa kuasa hukum adalah sebagai berikut :
1) Wali terhadap anak dibawah umur
(pasal 51 UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan)
2) Curator atas orang tidak waras.
3) Orang tua terhadap anak yang belum
dewasa (pasal 45 (2) UU No 1 Tahun 1974
4) BPH sebagai curator kepailitan
5) Direksi atau pengurus badan hukum
6) Direksi perusahaan persoroan
(persero)
7) Pimpinan perwakilan perusahaan asing
8) Pimpinan cabang perusahaan domestic.