BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tidak ada cabang hukum internasional yang lebih banyak mengalami perubahan secara revolusioner selama empat dekade terakhir, dan khususnya selama satu setengah dekade terakhir, selain dari pada hukum laut dan jalur-jalur maritim (maritime highways). Penandatanganan akhir pada tanggal 10 Desember 1982, di Montego Bay - Jamaica, oleh sejumlah besar negara (tidak kurang dari seratus delapan belas negara) yang terwakili dalam Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Ketiga tentang Hukum Laut 1973 sampai 1982 (UNCLOS) guna menyusun suatu ketentuan hukum internasional yang komprehensif berkaitan dengan hukum laut dibawah judul Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hukum Laut, mungkin merupakan perkembangan paling penting dalam keseluruhan sejarah ketentuan hukum internasional berkenaan dengan lautan bebas. Dalam kaitan ini, yang perlu dikemukakan hanyalah bahwa sebagian terbesar dari Konvensi, yang memuat ketentuan-ketentuan hukum yang cukup penting didalamnya, meskipun hukum yang lama banyak yang berubah karenanya, saat ini tampaknya menuntut konsensus umum dari masyarakat internasional.
Dalam hal ini harus disadari bahwa siapapun tidak dapat melompat, dengan tanpa banyak melakukan pembahasan, kepada suatu analisis atas Konvensi 1982 ini seakan-akan konvensi itu sendiri sudah cukup menjelaskan tentang rezim hukum internasional mengenai laut, dasar laut dan wilayah-wilayah maritim dewasa ini. Mengutip pendapat seorang ahli sejarah terkenal, Dr. A. L. Rowse, “landasan dari semua perkembangan ilmu sosial adalah sejarah; dari sanalah ilmu-ilmu sosial itu menemukan, baik dalam kadar yang lebih besar maupun lebih kecil, pokok permasalahan dan bahan-bahan, verifikasi dan kontradiksi”. Selain dari sejarah yang harus dipahami, pengertian dari hukum laut baik itu hukum laut nasional maupun hukum laut internasional juga harus dipahami terlebih dahulu.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari penulisan makalah ini adalah:
1. Apa pengertian hukum laut nasional?
2. Apa pengertian hukum laut internasional?
3. Bagaimanakah sejarah hukum laut nasional?
4. Bagaimanakah sejarah hukum laut internasional?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian hukum laut nasional.
2. Untuk mengetahui pengertian hukum laut internasional.
3. Untuk mengetahui sejarah hukum laut nasional.
4. Untuk mengetahui sejarah hukum laut internasional.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Laut Nasional
Sebelum melihat pengetian hukum laut nasional terlebih dahulu kita melihat pengertian laut. Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan bumi, tetapi definisi ini hanya bersifat fisik semata. Sedangkan laut menurut definisi hukum adalah keseluruhan air laut yang berhubungan secara bebas di seluruh permukaan bumi.
Menurut Dr. Wirjono Prodjodikoro SH, menyatakan bahwa pemakaian istilah “Hukum Laut”tanpa penjelasan akan menimbulkan keragu-raguan, bahkan mungkin ada kesalahpahaman. Terutama sekali, oleh karena dalam perpustakaan ilmu pengetahuan hukum di Negeri Belanda dengan tidak sedikit pengaruhnya di Indonesia istilah “Zee-recht” biasanya terpakai dalam arti yang lebih sempit daripada yang dimaksudkan oleh Dr. Wirjono Prodjodikoro SH, dengan istilah “Hukum Laut”.
Ada misalnya dua buku, yang satu dari Mr. W. L. P. A. Molengraaff, yang lain dari Mr. H. F. A. Vollmar, yang secara monografi meninjau hal yang mereka namakan “Zee-recht”. Dan lagi ada buku kecil dari Mr. F. G. Scheltema tentang “Het Nieuwe Zeerecht”. Ternyata yang ditinjau oleh tiga penulis tadi ialah peraturan-peraturan hukum yang ada hubungannya dengan pelajaran kapal di laut dan teristimewa mengenai pengangkutan orang atau barang dengan kapal laut.
Juga sekiranya dapat dikatakan, bahwa hal yang mereka tinjau itu, hanyalah pada pokoknya peraturan-peraturan hukum yang berada di dalam lingkungan “privaatrecht” (Hukum Perdata), tidak meliputi peraturan hukum yang berada dalam lingkungan “public recht” (hukum public).
Lain dari pada penulis-penulis tersebut, Dr. Wirjono Prodjodikoro SH, bermaksud meninjau peraturan-peraturan hukum yang tidak terbatas pada lingkungan “privaatrecht”, melainkan meliputi juga hal-hal yang oleh penulis-penulis tersebut diserahkan peninjauannya kepada penulis-penulis tentang hukum internasional publik, seperti misalnya Mr. J. P. A. Francois dan L. Oppenheim-H. Lautterpacht, yaitu antara lain mengenai “teritoriale zee” (perairan territorial di laut) atau hal mencari ikan di laut lebih-lebih Dr. Wirjono Prodjodikoro SH, tidak membatasi peninjauan pada hukum privaat, oleh karena hukum adat di Indonesia pada aslinya tidak menyadari adanya perincian hukum secara pembedaan antara “privaatrecht” dan “publicrecht”. Demikianlah agar jelas semula, bahwa istilah “hukum laut” dalam arti luas yaitu meliputi segala peraturan hukum yang ada hubungannya dengan laut, sedang pembatasan peninjauan terletak pada hal yaitu hanya hukum laut bagi Indonesia, artinya sekedar berlaku untuk Republik Indonesia dan para warganya.
B. Pengertian Hukum Laut Internasional
Laut, terutama lautan samudera, mempunyai sifat istimewa bagi manusia. Begitu pula hukum laut, oleh karena hukum pada umumnya adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota masyarakat dan bertujuan mengadakan tata tertib diantara anggota-anggota masyarakat itu. Laut adalah suatu keluasan air yang meluas diantara berbagai benua dan pulau-pulau di dunia. Tidak dapat dikatakan dalam pengertian biasa, bahwa di atas atau didalam air yang amat meluas itu, ada orang manusia berdiam atau menetap. Sebenarnya laut merupakan jalan raya yang menghubungkan transportasi keseluruh pelosok dunia. Melalui laut, masyarakat internasional dan subjek-subjek hukum internasional lainnya yang memiliki kepentingan dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum dalam hal pelayaran, perdagangan sampai penelitian ilmu pengetahuan.
Maka pada hakekatnya lain dari pada di benua-benua dan di pulau-pulau, adalah sukar bahkan barangkali tidak mungkin ditengah-tengah lautan terdiri suatu masyarakat tertentu, apalagi suatu negara. Dengan demikian pada hakekatnya, segala peraturan hukum yang berlaku dalam tiap-tiap negara, selayaknya terhenti berlaku apabila melewati batas menginjak pada laut. Tetapi bagi orang-orang manusia yang berdiam di tepi laut, sejak dahulu kala, ada dirasakan dapat dan berhak menguasai sebagian kecil dari laut yang terbatas pada pesisir itu. Ini justru oleh karena didasarkan tidak ada orang lain yang berhak atas laut selaku suatu keluasan air.
Maka ada kecenderungan untuk memperluas lingkaran berlakunya peraturan-peraturan hukum di tanah pesisir itu sampai meliputi sebagian dari laut yang berada di sekitarnya. Sampai berapa jauh kearah laut peraturan-peraturan hukum dari tanah pesisir ini berlaku, adalah hal yang mungkin menjadi soal, terutama apabila tidak jauh dari tanah pesisir itu ada tanah pesisir dibawah kekuasaan negara lain. Maka dengan ini sudah mulai tergambar suatu persoalan internasional, apabila orang menaruh perhatian pada hukum mengenai laut. Maka dapat dimaknai bahwa hukum laut internasional adalah kaidah-kaidah hukum yang mengatur hak dan kewenangan suatu negara atas kawasan laut yang berada dibawah yurisdiksi nasionalnya (national jurisdiction).
C. Sejarah Hukum Laut Nasional
Keputusan Mahkamah Internasional tahun 1951
Cara penentuan laut territorial di sekeliling kepulauan Indonesia menurut cara yang kita perbincangkan sekarang mau tidak mau akan mengambil sebagai suatu garis dasar (base-line) suatu garis lurus yang menghubungkan titik ujung terluar dari pada kepulauan Indonesia. Cara penarikan “straight base-lines from point to point” ini mendapat pengakuan dalam hukum intenasional denga keputusan Mahkamah Internasional dalam Anglo-Norwegian Fisheries Case pada tanggal 18 Desember 1951. Cara penentuan base-line yang ditetapkan dalam Royal Norwegian Degree dari tanggal 12 Juli ini dibenarkan oleh Mahkamah yang menyatakan “that the base-lines fixed by the said degree were not contrary to international law”.
Sangat menarik adalah sebab yang mendorong Mahkamah Internasional untuk mengambil keputusan itu katanya disebabkan oleh “geographical realities” dan juga dipengaruhi oleh “economics interest” peculiar to a region, the reality and importance of which are clearly evidenced by long usage”. Walaupun keadaan geografis Indonesia berlainan yakni garis-garis yang menghubungkan titik ujung akan jauh lebih panjang dari pada garis terpanjang yang diketengahkan dalam pertikaian antara Inggris dan Norwegia itu (44 mil), namun keadaan Indonesia sebagai suatu pulau cukup unik untuk dapat membenarkan cara penentuan garis pangkal (base-line) yang serupa. Yang penting dalam Anglo Norwegian Fisheries Case ini adalah bahwa suatu cara penarikan garis pangkal yang lain dari pada cara yang klasik (yaitu menurut garis air rendah) telah mendapat pengakuan dari Mahkamah Internasional.
Jadi yang kita lakukan adalah peninjauan kembali dari pada base-line (garis pangkal) yang disesuaikan dengan keadaan Indonesia sebagai suatu kepulauan (archipelago).
Dengan demikian kita memperbaiki Undang-undang yang dahulu hanya mengutamakan kesamaan hukum antara Indonesia sebagai “oversees gebiedsdeel” dengan Negeri Belanda dalam lingkungan “Het Koninkrijk der Nederlanden”, dari pada kepentingan integritet territorial dari pada Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dan kepentingan rakyat (dilihat dari sudut ekonomi yaitu lautan sebagai sumber kekayaan alam). Untuk menjamin kelancaran Negeri yang sangat penting untuk menyangkal tuduhan-tuduhan negara-negara lain bahwa kita menghalang-halangi pelayaran bebas, perlu adanya jaminan bahwa : “…..lalu lintas yang damai di lautan pedalaman bagi kapal asing dijamin selama tidak membahayakan kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia”.
D. Sejarah Hukum Laut Internasional
Pada abad ke-19, batas 3 mil memperoleh pengakuan dari para ahli hukum, juga oleh pengadilan-pengadilan, serta mendapat pengesahan dalam praktek negara-negara maritim utama. Pengakuan ini juga berlanjut dalam abad ke-20, dengan dua negara maritim besar, Amerika Serikat dan Inggris, secara tegas menjadi pendukung utama batas 3 mil tersebut. Memang aturan itu belum memperoleh penerimaan sebagai suatu ketentuan universal hukum internasional. Sejumlah besar negara memakai suatu ukuran yang lebih lebar untuk jalur maritim. Semakin banyak jumlah negara yang selama 15 tahun belakangan ini mendukung batas seluas 12 mil dan bahkan lebar yang lebih besar lagi.
Dua perkembangan penting dari sejarah hukum laut internasional adalah:
Dua perkembangan penting dari sejarah hukum laut internasional terjadi setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua yaitu:
1. Evaluasi dan penerimaan umum atas doktrin landas kontinen (continental shelf)
Pengakuan umum atas prinsip landas kontinen memperlihatkan kulminasi tendensi yang dimulai dari tahun 1945-1951 pada waktu, melalui deklarasi sepihak, sejumlah negara maritim menyatakan klaim yurisdiksi eksklusif, pengawasan atau hak-hak berdaulat (yang berbeda dari kedaulatan) terhadap sumber-sumber daya di landas kontinen dan wilayah-wilayah lepas pantai yang berkaitan. Apa yang umumnya disebut “landas kontinen” atau “landasan kontinen” (continental platform) adalah dasar bawah permuakaan air laut, yang berbatasan dengan suatu daratan benua (continental land mass), dan sedemikian rupa sehingga seolah-olah merupakan suatu kelanjutan dari, atau bagian tambahan daratan benua ini, tetapi umumnya tidak terletak pada suatu kedalaman di bawah permukaan air laut lebih dari 200 meter. Kira-kira pada kedalaman ini, biasanya, mulai “penurunan” ke kedalaman laut yang sangat curam. Melewati tepi terluar atau lereng yang menurun demikian Dario landas kontinen, dasar laut dalam menurun dengan tahap-tahap, yang menurut nomenklatur umum dikenal sebagai “landas kontinen” (continental slope), dan “tanjakan kontinen” (continental rise), sebelum tenggelam ke dasar laut yang lebih dalam, atau “ngarai dasar laut” (abyssal plain). Istilah “tepi kontinen” (continental margin) umumnya dipakai untuk mencakup landas kontinen, lereng kontinen dan tanjakan kontinen, batas terluar dari tepi kontinen yang merupakan permulaan, sejauh hal itu dapat didefenisikan secara geomorfologis, ngarai dasar laut.
Dalam North Sea Continental Shelf Cases, yang mendorong Internasional Court of Justice adalah konteks geologis ini, pada saat berusaha untuk merasionalkan dasar klaim-klaim landas kontinen, untuk menggaris bawahi pertimbangan bahwa landas kontinen merupakan kelanjutan atau perpanjangan alamiah dari wilayah daratan, dan karenanya merupakan tambahan wilayah yang telah dikuasai negara pantai.
Jika pada awal timbulnya klaim-klaim terhadap landas kontinen yang diajukan melalui pengumuman atau pernyataan resmi lainnya, alasan pembenarannya biasa dikaitkan, atau lain, dengan pertimbangan-pertimbangan hubungan geografis dan keamanan. Sedangkan tujuan sesungguhnya dari negara pesisir terkait adalah untuk mencadangkan antara lain sumber minyak dan mineral-mineral yang mungkin terdapat di dasar laut kawasan landas kontinen tersebut bagi kepentingannya sendiri, yang eksploitasinya telah dimungkinkan dengan kemajuan teknologi, sehingga klaim yang diajukan harus dinyatakan dalam peristilahan yang cukup untuk meliputi sumber-sumber daya non-mineral.
Keluasaan sesungguhnya dari klaim-klaim itu berbeda-beda; Pengumuman Presiden Amerika Serikat pada bulan September 1945 hanya menyatakan hak-hak “yurisdiksi dan pengawasan” atas sumber-sumber daya alam di bawah tanah dasar laut dan dasar laut landas kontinen, yang jelas mempertahankan seutuhnya sifat dari perairan landas kontinen sebagai laut bebas serta hak pelayaran bebas, akan tetapi dalam deklarasi-deklarasi berikutnya dari negara-negara lain, klaim-klaim tertuju pada kedaulatan pemilikaan atas dasar laut dan tanah dibawahnya, juga perairan landas kontinen. Tentu saja, klaim-klaim demikian menyangkut perluasan yurisdiksi atau kedaulatan di luar jalur maritim, bahkan jauh melampaui lebar zona-zona tambahan yang mana terhadapnya negara-negara tertentu telah mengajukan klaim. Misalnya, landas kontinen Amerika Serikat secara resmi dilukiskan sebagai berikut :
“…..hampir seluas kawasan yang tercakup dalam Lousiana Purchase, yaitu 827.000 mil persegi, dan hampir dua kali luas 13 koloni asli, yaitu 400.000 mil persegi. Sepanjang garis pantai Alaska landas kontinen tersebut membentang beratus-ratus mil dibawah laut Bering. Di pantai Timur luas landas kontinen bervariasi antara 20 mil sampai 250 mil, dan sepanjang pantai Pasifik seluas 1 mil sampai 50 mil”.
Karena luasnya kawasan-kawasan landas kontinen tersebut, maka ada sedikit analogi antara klaim-klaim ini dan klaim-klaim yang secara eksklusif guna mengawasi kawasan terbatas dasar laut di luar jalur maritim untuk kepentingan pengambilan mutiara, tiram dan ikan-ikan sedender (sedentary fisheries). Klaim-klaim yang lebih sempit ini bersandar pada pendudukan/okupasi suatu bagian dasar laut sebagai suatu res nullius, atau bersandar pada suatu hak pembuktian historis atau kuasi-historis atau atas dasar kepentingan masyarakat regional (misalnya peternakan mutiara di Teluk Persia) adalah suatu persoalan yang masih kontroversial mengenai apakah deklarasi yurisdiksi atau kedaulatan yang dinyatakan oleh negara-negara pesisir terkait pada tahun 1945-1951 itu telah memberikan sumbangan terhadap pembentukkan kebiasaan hukum internasional yang memberikan kepada negara-negara pantai hak-hak demikian atas landas kontinen mereka. Seperti akan terlihat, bagaimanapun doktrin landas kontinen telah diakui melalui konsensus umum dalam Konvensi Jenewa 1958 mengenai Landas Kontinen.
2. Keputusan-keputusan International Court of Justice dalam perkara Anglo-Norwegian Fisheries Case yang memperkuat metode dalam hal-hal tertentu penarikan garis dasar pada jarak tertentu dari garis pantai negara pesisir terkait, dari mana garis dasar lebar jalur maritim di ukur, sebagai pengganti tanda air surut yang merupakan akhir garis jalur maritim.
Mengenai penetapan batas jalur maritim dengan menunjuk pada metode “garis pangkal” (Baseline metode), seperti telah dikemukakan di atas, merupakan akibat dari keputusan International Court of Justice tahun 1951 dalam Anglo-Norwegian Fisheries Case. Dalam keputusan tersebut Mahkamah mengatakan bahwa Dekrit Norwegia bulan Juli 1935 yang menetapkan batas suatu zona penangkapan ikan ekslusif sepanjang hampir 1000 mil dari garis pantai Laut Utara pada keluasan tertentu, yang berlaku sebagai jalur maritim dengan lebar empat mil (lebar yang dipakai oleh Pemerintah Norwegia) yang membentang dari garis pangkal lurus ditarik melalui 48 titik yang dipilih pada daratan utama atau pulau-pulau atau karang-karang pada jarak tertentun dari pantai, adalah tidak bertentangan dengan hukum internasional. Tampak dari keputusan Mahkamah bahwa metode garis pangkal ini, yang dianggap lebih baik daripada tanda air surut, dapat diterima apabila suatu garis pantai menjorok ke dalam, atau apabila terdapat suatu lingkaran pinggir kepualuan di sekitarnya yang berdekatan, dengan ketentuan bahwa penarikan garis pangkal demikian tidak menyimpang dari “arah” umum” (general direction) pantai tersebut, dan bahwa kawasan yang terletak di bagian dalam garis-garis pangkal itu cukup berdekatan dengan daratan utama yang sebenarnya sama dengan perairan pedalaman.
Apabila syarat-syarat untuk diperkenankannya penarikan garis pangkal ini dipenuhi, maka perhitungan dapat dilakukan untuk menentukan garis pangkal khusus untuk kepentingan ekonomi khususnya untuk kepentingan wilayah terkait, apabila kepentingan-kepentingan tersebut telah merupakan hal yang berjalan cukup lama. Dengan perkataan lain, apabila tidak ada syarat-syarat geografis yang diperlukan yang dapat merujuk pada sifat dari garis pantai dan pulau-pulau yang berdekatan, maka kepentingan-kepentingan ekonomi semata-mata dari negara pantai tidak dapat begitu saja membenarkan pengalihan kepada metode garis pangkal. Garis-garis pangkal tersebut hendaknya diberitahukan secara layak dan digambarkan dalam peta-peta yang dipublikasikan.
Pokok Pemikiran International Court of Justice dalam Anglo-Norwegian Fisheries Case adalah pertimbangannya bahwa jalur maritime bukanlah suatu perluasan semu (artificial extension) terbatas dari wilayah kekuasaan daratan suatu Negara sebagai suatu wilayah tambahan yang berdampingan dimana demi alasan-alasan ekonomi, keamanan, dan geografis Negara pesisir itu berhak untuk melaksanakan hak-hak berdaulatan eksklusif, yang hanya tunduk pada pembatasan-pembatasan seperti hak lintas damai dari kapal-kapal asing.
Sementara itu, mulai dengan sidang pertamanya pada tahun 1949, rezim laut lepas dan rezim jalur maritim telah menarik perhatian Komisi Hukum Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations International Law Commission), sebagaimana yang tercantum di antara topik-topik yang berkaitan dengan kodifikasi yang dipandang perlu dan memungkinkan oleh Komisi. Pengkajian atas dua masalah itu berkembang hingga delapan kali sidang, 1949-1956. Pada saat belangsungnya sidang ke 4 tahun 1952, Komisi menyatakan pilihan istilah “laut teritorial” untuk mengganti istilah jalur maritim, dan istilah ini sejak saat itu dipakai secara universal, dengan demikian mengganti dan mengubah istilah usang “jalur maritim” dan “perairan teritorial” (territorial waters) suatu istilah untuk menyatakan bagian pantai yang tunduk dibawah kedaulatan Negara pesisir.
Pada sidang ke 8 tahun 1956 Komisi menyusun rancangan akhir naskah ketentuan mengenai laut territorial, dengan memasukkan perubahan-perubahan setelah berkomunikasi dengan pemerintah negara-negara, dan mengesahkan laporan akhir mengenai ketentuan hukum laut lepas, yang berisi 73 rancangan pasal, yang dimaksudkan untuk menyusun suatu ketentuan hukum tunggal yang terkoordinasi dan sistematis. Hal-hal ini terjadi sebelum Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1956, dan sesuai dengan rekomendasi-rekomendasi Komisi, melalui resolusi tanggal 27 Februari 1957, memutuskan untuk menyelenggarakan suatu konferensi internasional yang berwenang penuh “untuk mengkaji hukum laut, dengan memperhatikan bukan saja aspek hukum melainkan juga aspek-aspek teknis, biologi, ekonomi, dan politik dari permasalahan, dan mewujudkan hasil-hasil pekerjaannya dalam satu Konvensi internasional atau lebih ataupun instrumen-instrumen hukum lain yang dianggap sesuai oleh konferensi”.
Konferensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa, terdiri dari :
a. Pertama diselenggarakan di Jenewa mulai dari tanggal 24 Februari 1958 sampai dengan 27 April 1958, dan tugas yang diselesaikannya dimuat dalam empat buah konvensi, yaitu Konvensi mengenai Laut Teritorial dan Jalur Tambahan, Konvensi mengenai Laut Lepas, Konvensi mengenai Perikanan dan Konservasi sumber-sumber Daya Hayati di Laut Lepas, dan Konvensi mengenai Landas Kontinen.
Konvensi-Konvensi ini mulai berlaku, berturut-turut, tanggal 10 September 1965, 30 September 1962, 20 Maret 1966 dan 10 Juni 1964, dan hingga akhir tahun 1979, konvensi-konvensi itu telah diikutsertai, secara berturut-turut, oleh 45 negara, 56 negara, 35 negara, dan 53 negara. Konferensi telah mengesahkan sebagai tambahan sebuah Protokol Penandatanganan Bebas-Pilih yang berkaitan dengan Penyelesaian Wajib atas Sengketa-sengketa (Optional Protocol of Signature concerning the Compulsory Settelement of Disputes) yang kemudian berlaku mulai tanggal 30 September 1962, yang hingga pengunjung tahun 1979 pesertanya mencapai 39 negara. Meskipun telah tercapai kesepakatan dalam tingkat yang besar pada Konferensi mengenai sejumlah besar pokok permasalahan penting, namun dua masalah masih belum berhasil diselesaikan, yaitu lebar laut teritorial dan batas wilayah penangkapan ikan. Sesudah berakhirnya Konferensi 1958, Majelis Umum melalui resolusi yang dikeluarkan tanggal 10 Desember 1958 meminta Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menyelenggarakan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hukum Laut yang kedua untuk memikirkan lebih lanjut dua masalah yang belum diselesaikan ini.
b. Lebih dari 80 negara diwakili pada Konferensi Perserikatan Bangsa-bangsa yang kedua ini, yang dilangsungkan di Jenewa mulai dari tanggal 16 Maret 1960 sampai dengan 26 April 1960 dengan hasil yang tidak begitu meyakinkan menyangkut kedua permasalahan tersebut, meskipun Konferensi menyetujui suatu resolusi yang menegaskan perlunya bantuan teknik bagi penangkapan ikan.
Satu masalah yang belum termasuk dalam laporan Komisi Hukum Internasional yang diajukan kepada Majelis Umum tahun 1956 adalah mengenai kebebasan untuk akses (free acces) ke laut bagi negara-negara tidak berpantai (land-locked States). Namun demikian, persoalan ini dimuat dalam suatu memorandum yang diajukan ke Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hukum Laut yang Pertama oleh suatu konferensi pendahuluan mengenai negara-negara tidak berpantai yang diselenggarakan di Jenewa mulai tanggal 10 Februari 1958 sampai dengan 14 Februari 1958, yang berarti seminggu lebih sedikit sebelum pembukaan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Memorandum ini menyebabkan Konferensi yang diselenggarakan berikutnya menetapkan salah satu dari Komite-komite utamanya yaitu Komite Kelima dengan mandat membahas persoalan akses ke laut bagi Negara-negara tidak berpantai. Hasilnya, tidak ada konvensi tersendiri mengenai pokok persoalan ini yang dikeluarkan oleh Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa akan tetapi dimuat dalam beberapa ketentuan dari Konvensi mengenai Laut Lepas yang berkaitan dengan persoalan akses negara-negara tidak berpantai, dan Pasal 3 dari Konvensi yang disebut terakhir secara tegas dan spesifik mengatur persoalan ini.
Selain dari pada itu, menyusul suatu resolusi yang dikeluarkan oleh Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Pertama mengenai Perdagangan dan Pembangunan (First United Nations Conference on Trade and Development) yang diselenggarakan di Jenewa bulan Juni 1964, Majelis Umum memutuskan, pada tanggal 10 Februari 1965, untuk menyelenggarakan konferensi internasional yang berwenang penuh untuk memikirkan pokok persoalan mengenai perdagangan transit bagi negara-negara tidak berpantai, dan untuk mewujudkan hasilnya dan suatu konvensi dan instrumen-instrumen hukum lainnya yang dianggap sesuai oleh konferensi tersebut. Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perdagangan Transit bagi Negara-negara Tidak Berpantai (United Nations Conference on the Transit Trade of Land-Locked Countries) diadakan di New York mulai tanggal 7 Juni 1965 sampai dengan 8 Juli 1965, dengan keikutsertaan dari wakil-wakil 58 negara, dan mengeluarkan Konvensi mengenai Perdagangan Transit bagi Negara-negara Tidak Berpantai (Convention on the Transit Trade of Land Locked States).
Di luar fakta bahwa keempat konvensi 1958 dan konvensi 1965 telah menetapkan secara kolektif suatu rezim yang mengatur pemanfaatan, dan hak-hak yang berkaitan dengan laut lepas dan laut territorial, instrument-instrumen ini juga sesungguhnya telah membuka jalan bagi dan menetapkan landasan fundamental bagi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hukum Laut yang komprehensif yang telah ditandatangani Montego Bay - Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982.
Perkembangan-perkembangan yang timbul sejak tahun 1960 sampai dengan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa 1982 mengenai hukum laut adalah :
Lebar laut territorial secara tepat
Masalah lintas damai bagi kapal-kapal perang setiap waktu melintasi selat-selat yang merupakan jalan raya maritim internasional, dan yang seluruhnya merupakan perairan laut territorial
Hak lintas, dan terbang lintas dalam hubungannya dengan perairan kepulauan
Masalah perlindungan dan konservasi spesies-spesies khusus untuk kepentingan-kepentingan ilmiah atau fasilitas kepariwisataan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan bumi, tetapi definisi ini hanya bersifat fisik semata. Sedangkan laut menurut definisi hukum adalah keseluruhan air laut yang berhubungan secara bebas di seluruh permukaan bumi.
Bahwa istilah “hukum laut” dala arti luas yaitu meliputi segala peraturan hukum yang ada hubungannya dengan laut, sedang pembatasan peninjauan terletak pada hal yaitu hanya hukum laut bagi Indonesia, artinya sekedar berlaku untuk Republik Indonesia dan para warganya.
2. Hukum laut internasional adalah kaidah-kaidah hukum yang mengatur hak dan kewenangan suatu negara atas kawasan laut yang berada dibawah yurisdiksi nasionalnya (national jurisdiction).
3. Sejarah Hukum Laut Nasional dapat dilihat dalam Keputusan Mahkamah Internasional tahun 1951, yakni: Cara penentuan laut territorial di sekeliling kepulauan Indonesia menurut cara yang kita perbincangkan sekarang mau tidak mau akan mengambil sebagai suatu garis dasar (base-line) suatu garis lurus yang menghubungkan titik ujung terluar dari pada kepulauan Indonesia. Cara penarikan “straight base-lines from point to point” ini mendapat pengakuan dalam hukum intenasional denga keputusan Mahkamah Internasional dalam Anglo-Norwegian Fisheries Case pada tanggal 18 Desember 1951. Cara penentuan base-line yang ditetapkan dalam Royal Norwegian Degree dari tanggal 12 Juli ini dibenarkan oleh Mahkamah yang menyatakan “that the base-lines fixed by the said degree were not contrary to international law”.
4. Sejarah Hukum Laut Internasional
Dua perkembangan penting dari sejarah hukum laut internasional terjadi setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua yaitu:
• Evaluasi dan penerimaan umum atas doktrin landas kontinen (continental shelf)
• Keputusan-keputusan International Court of Justice dalam perkara Anglo-Norwegian Fisheries Case yang memperkuat metode dalam hal-hal tertentu penarikan garis dasar pada jarak tertentu dari garis pantai negara pesisir terkait, dari mana garis dasar lebar jalur maritim di ukur, sebagai pengganti tanda air surut yang merupakan akhir garis jalur maritim.
Di luar fakta bahwa keempat konvensi 1958 dan konvensi 1965 telah menetapkan secara kolektif suatu rezim yang mengatur pemanfaatan, dan hak-hak yang berkaitan dengan laut lepas dan laut territorial, instrument-instrumen ini juga sesungguhnya telah membuka jalan bagi dan menetapkan landasan fundamental bagi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hukum Laut yang komprehensif yang telah ditandatangani Montego Bay - Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982.
Perkembangan-perkembangan yang timbul sejak tahun 1960 sampai dengan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa 1982 negenai hukum laut adalah :
Lebar laut territorial secara tepat
Masalah lintas damai bagi kapal-kapal perang setiap waktu melintasi selat-selat yang merupakan jalan raya maritim internasional, dan yang seluruhnya merupakan perairan laut territorial
Hak lintas, dan terbang lintas dalam hubungannya dengan perairan kepulauan
Masalah perlindungan dan konservasi spesies-spesies khusus untuk kepentingan-kepentingan ilmiah atau fasilitas kepariwisataan.
B. Saran
Dari kesimpulan diatas dapat disarankan bahwa, agar kita dapat memahami secara baik materi tentang hukum laut baik itu hukum laut nasional maupun hukum laurt internasional sebaiknya terlebih dahulu kita mengetahui pengertian dan juga sejarahnya, agar kita dapat memahami materi selanjutnya dengan lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Junaidi Indrawadi, dkk. 2006. Buku Ajar Hukum Internasional. Padang: UNP Press.
Mochtar Kusumaatmadja. 1978. Hukum Laut. Jakarta: Binacipta.
Munadjat Danusaputro. 1981. Wawasan Nusantara dalam Hukum Laut Internasional. Jakarta: Alumni.
Starke, J. G. 1988. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: Sinar Grafika.
Wirjono Prodjodikoro. 1976. Hukum Laut di Indonesia. Jakarta: Sumur Bandung.
http://andriankamil4u.blogspot.com/2010/06/hukum-laut-internasional.html
nice posting
BalasHapusHow to Play Baccarat - Get Bonus Codes - FABCASINO
BalasHapusLearn how to play Baccarat using the online version of the popular 인카지노 casino game Baccarat online. Learn how to play Baccarat 메리트카지노총판 using the febcasino online version of the popular casino