SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA & SELAMAT MEMBACA

Senin, 02 April 2012

SOSIOLOGI HUKUM PERMASALAHAN KORUPSI DI INDONESIA DAN CARA PEMBERANTASANNYA




BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Korupsi adalah suatu perbuatan yang sudah lama dikenal di dunia dan di Indonesia. Syed H. Alatas yang pernah meneliti korupsi sejak Perang Dunia Kedua menyebutkan, esensi korupsi adalah melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan. Beliau membagi korupsi ke dalam tujuh macam, yaitu korupsi transaksi, memeras, investif, perkerabatan, defensif, otogenik dan dukungan. Indonesia berusaha untuk memberantas korupsi sejak 1950-an dengan mendirikan berbagai lembaga pemberantas korupsi, terakhir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) suatu “ superbody ” dengan kewenangan istimewa.
Berbagai macam undang-undang anti korupsi juga sudah dibuat, bahkan disertai dengan hukuman maksimal, yaitu hukuman mati. Walaupun demikian, kondisi korupsi di Indonesia masih tetap parah. Menurut Transparansi Internasional, pada akhir tahun 2005, indeks persepsi korupsi di Indonesia naik dari 2,0 menjadi 2,2 (indeks persepsi dari 1 sampai 10). Angka ini menunjukkan yang terendah di Asia Tenggara, dan berarti Indonesia adalah negara terkorup dibanding Filipina , Thailand , Malaysia , Singapura , Brunei dll. Peraturan perundang-undangan merupakan wujud dari politik hukum institusi Negara dirancang dan disahkan sebagai undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Secara parsial, dapat disimpulkan pemerintah dan bangsa Indonesia serius melawan dan memberantas tindak pidana korupsi di negeri ini. Tebang pilih, Begitu kira-kira pendapat beberapa praktisi dan pengamat hukum terhadap gerak pemerintah dalam menangani kasus korupsi akhir-akhir ini.
Gaung pemberantasan korupsi seakan menjadi senjata ampuh untuk dibubuhkan dalam teks pidato para pejabat Negara, bicara seolah ia bersih, anti korupsi. Masyarakat melalui LSM dan Ormas pun tidak mau kalah, mengambil manfaat dari kampanye anti korupsi di Indonesia. Pembahasan mengenai strategi pemberantasan korupsi dilakakukan dibanyak ruang seminar, booming anti korupsi, begitulah tepatnya. Meanstream perlawanan terhadap korupsi juga dijewantahkan melalui pembentukan lembaga Adhoc, Komisi Anti Korupsi (KPK).
Celah kelemahan hukum selalu menjadi senjata ampuh para pelaku korupsi untuk menghindar dari tuntutan hukum.
Seringkali korupsi dilakukan tidak secara personal, tetapi dilakukan secara kolektif, struktural, dan sistemis. Sehingga secara tidak langsung korupsi lambat laun menjadi sebuah budaya. Fenomena itu pun terjadi di Indonesia, sehingga diperlukan strategi pemberantasan korupsi secara kolektif, struktural, dan sistemis.
Fenomena korupsi telah menjadi persoalan yang berkepanjangan di negara Indonesia. Bahkan negara kita memiliki rating yang tinggi di antara negara-negara lain dalam hal tindakan korupsi. Korupsi sebagai sebuah masalah yang besar dan berlangsung lama menjadi sebuah objek kajian yang menarik bagi setiap orang. Setiap orang memiliki sudut pandang masing-masing sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam kajian itu. Misalnya ada orang yang meneliti pengaruh korupsi terhadap perekonomian, perpolitikan, sosial, dan kebudayaan. 
Fenomena korupsi telah merongrong nilai-nilai kerja keras, kebersamaan, tenggangrasa, dan belaskasih di antara sesama warga bangsa Indonesia. Korupsi menciptakan manusia Indonesia yang easy going, apatisme terhadap nasib dan penderitaan sesama khususnya rakyat kecil yang tidak sempat untuk menikmati atau memiliki kesempatan untuk korupsi. Meskipun korupsi bukanlah sebuah lapangan pekerjaan baru. Singkatnya tindakan korupsi seolah-olah bukanlah sebuah lagi sebuah tindakan yang diharamkan oleh agama manapun sebab kenderungan korupsi telah merasuki hati semua orang.

1.2 Permasalahan 
Adapun masalah yang dapat kami jabarkan disini antara lain :
a. Kenapa korupsi membudidaya di Indonesia?
b. Apa hubungannya dengan kesenjangan sosia dimasyarakat?
c. Mengapa korupsi di Indonesia masih sangat tinggi? 
d. Apakah peran yang dapat dilakukan masyarakat agar korupsi di Indonesia berkurang?


















BAB II
TEORI
2.1 Pengertian Korupsi
Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah/pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas / kejahatan.
2.2 Jenis Korupsi
Ketua KPK membedakan korupsi atas dua jenis, korupsi karena kebutuhan ( need corruption ) dan korupsi karena kerakusan ( greedy corruption ). Korupsi yang pertama terjadi terutama karena sistem yang kurang baik, misalnya, sistem pegawai negeri sipil (PNS), terutama sistem penggajian pegawai negeri sipil yang sangat rendah. Korupsi ini diberantas dengan tindakan perbaikan sistem PNS itu sendiri. Ini termasuk upaya pencegahan korupsi yang merupakan tugas KPK.
Sementara, korupsi golongan kedua lebih banyak disebabkan karena ketamakan dan mental yang rusak. Ini harus diperbaiki dengan upaya penindakan, yaitu penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Di Indonesia banyak korupsi yang “terpaksa” dilakukan karena kebutuhan hidup sehari-hari, walaupun korupsi karena ketamakan cukup banyak juga. Biasanya korupsi jenis pertama ini jumlahnya tidak besar dibandingkan korupsi jenis kedua.















BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Alasan Orang Banyak Korupsi
Sikap mental dan budaya yang dianutnya memberikan dia alasan untuk melakukan korupsi. Karena adanya kesempatan dan adanya niat untuk melakukan tindak pidana Korupsi itu. Memberikan kesempatan untuk korupsi perlu dipersempit dengan memperbaiki sistem. Sementara niat untuk melakukan korupsi lebih banyak dipengaruhi oleh sikap mental atau moral dari para pejabat atau pegawai. Banyak, di antara pejabat atau pegawai, mempunyai sikap yang keliru tetang sah tidak suatu penghasilan atau halal haramnya suatu sumber pendapatan. Mereka sering berpendapat, bahwa yang tidak sah atau haram hanyalah meliputi makanan dan minuman yang diharamkana agama. Sementara perbuatan lain yang merugikan orang lain ataua merugikan keuangan negara, dianggap tidak haram atau sah-sah saja.
Seharusnya perbuatan yang merugikan orang lain atau merugikan keuangan negara adalah juga perbuatan yang tidak sah atau haram, Karena sikap keliru inilah, banyak orang merasa tenang atau tidak merasa berdosa ketika melakukan korupsi. Banyak orang yang memiliki “kesalehan pribadi” tetapi kesalahan ini tidak tercermin dalam perilaku sosialnya. Sudah tentu, sikap ini sangat membahayakan dan dapat menyuburkan korupsi. Untuk itu diperlukan pelurusan definisi “sah dan tidak sah” atau “halal dan haram” di dalam kehidupan sehari-hari. Perlu diingatkan, bahwa semua tindakan yang merugikan orang lain dan keuangan negara adalah perbuatan tidak sah atau haram.
Di sisi lain, bagi anggota masyarakat, ada semacam nilai bahwa memberikan sesuatu kepada pejabat bukanlah perbuatan yang dilarang, baik pemberian itu diberikan sebelum atau sesudah urusannya dengan pejabat itu selesai. Sikap mental ini harus diubah. Perlu diingatkan, bahwa baik menurut hukum agama atau hukum nasional, orang yang menyuap atau disuap kedua-duanya juga salah.
Antara urusan pribadi dan kedinasan bercampur yang merupakan salah satu kelemahan orang Indonesia, terutama pejabatnya, adalah kurang bisa membedakan urusan pribadi dan dinas. Antara keduanya sering tercampur, tidak ada batas yang jelas. Keseringan antara urusan pribadi dengan bangga diselesaikan dengan fasilitas dinas atau negara, tetapi agak jarang urusan dinas diselesaikan dengan biaya pribadi. Di berbagai daerah di seluruh Indonesia, banyak ditemukan rekening-rekening pribadi untuk menampung dana yang berasal anggaran kantor.
Pemberantasan yang pilih- pilih dalam melakukan pemberantasan korupsi. Dimana yang seharusnya pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan benar dan sudah tentu diperlukan aparatur pemerintahan, terutama penegak hukum, yang bersih. Menurut penilaian Transparansi Internasional, korupsi di Indonesia banyak terjadi di kalangan partai politik dan parlemen, dan di sektor penegakan hukum, baik kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. 
Oleh karena aitu, pembersihan di sektor penegakan hukum haruslah menjadi prioritas utama. Di sini, harapan masyarakat banyak diberikan kepada KPK yang dianggap lebih memiliki integritas dibandingkan dengan penegak hukum lainnya. Untuk itu, KPK harus didukung sepenuhnya dan diberi kewenangan yanag lebih baik lagi, sehingga dapat melaksanakan tugasnya secara optimal. Misalnya, KPK yang selama ini tidak berwenang menyidik kasus tindak pidana pencucian uang, diberikan kewenangan untuk menyidik. Karena sebagian besar uang atau harta hasil korupsi hampir selalu di-laundering dengan cara menyembunyikan atau mengaburkan asal usulnya.
Peranserta masyarakat karena akan mempengaruhi keberhasilan pemberantasan korupsi banyak tergantung pada partisipasi masyarakat. Kalau masyarakat sudah mengubah budayanya dan bersikap “antikorupsi” maka situasi ini sudah cukup kondusif untuk memberantas korupsi. Dengan sikap demikian, diharapkan, masyarakat mau mencegah dan melaporkan korupsi yang terjadi. Untuk itu, mutlak diperlukan segera undang-undang perlindungan saksi dan pelapor untuk dapat membongkar kasus korupsi. Sayang sekali, perlindungan bagi “pelapor” ini belum termasuk ke dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban yang sedang dibahas Dewan Perwakilan Rakyat.
Partisipasi masyarakat juga dapat diberikan dalam bentuk “memboikot” setiap acara atau undangan dari pejabat yang melakukan tindak pidana korupsi. Inilah hukuman masyarakat yang benar-benar efektif dan dirasakan para pelaku korupsi. Diharapkan juga, masyarakat dapat mengontrol pelaksanaan pemberantasan korupsi. Dalam hal ini, ide KPK untuk membentuk clearinghouse pemberantasan korupsi yang berfungsi sebagai pusat pengetahuan akan sangat baik. Dengan clearing house ini, masyarakat dapat mengakses berbagai informasi tentang pemberantasan korupsi termasuk kasus-kasus yang sedang ditangani oleh para penegak hukum. Untuk mengurangi angka korupsi, di samping upaya pencegahan dan pemberantasan, juga diperlukan perubahan budaya dan dukungan masyarakat luas.
3.2 Penyebab Korupsi
Untuk menemukan penyebab korupsi, maka saya ingin menggunakan konsepsi Alfred Schutz tentang because motive atau disebut sebagai motif penyebab. Di dalam konsepsi ini, maka dapat dinyatakan bahwa tindakan manusia ditentukan oleh ada atau tidaknya faktor penyebabnya. Maka seseorang melakukan korupsi juga disebabkan oleh beberapa faktor penyebab. Faktor penyebab itulah yang disebut sebagai motif eksternal penyebab tindakan.
Manusia dewasa ini sedang hidup di tengah kehidupan material yang sangat mengedepan. Dunia kapitalistik memang ditandai salah satunya ialah akumulasi modal atau kepemilikan yang semakin banyak. Semakin banyak modal atau akumulasi modal maka semakin dianggap sebagai orang yang kaya atau orang yang berhasil. Maka ukuran orang disebut sebagai kaya atau berhasil adalah ketika yang bersangkutan memiliki sejumlah kekayaan yang kelihatan di dalam kehidupan sehari-hari. Ada outward appearance yang tampak di dalam kehidupan sehari-harinya. Cobalah kalau kita berjalan di daerah-daerah yang tergolong daerah komunitas kaya, maka hal itu cukup dilihat dengan seberapa besar rumahnya, di daerah mana rumah tersebut, dan apa saja yang ada di dalam rumah tersebut. Di Surabaya ini, maka dengan mudah dapat diketahui bahwa ada perumahan yang tergolong sebagai perumahan “elit”. Datanglah di perumahan Darma Husada Indah, maka akan terpampang bagaimana rumah kaum elit di negeri ini. Dan inilah gambaran kesuksesan atau keberhasilan kehidupan.
Di tengah kehidupan yang semakin sekular, maka ukurannya adalah seberapa besar seseorang bisa mengakses kekayaan. Semakin kaya, maka semakin berhasil. Maka ketika seseorang menempati suatu ruang untuk bisa mengakses kekayaan, maka seseorang akan melakukannya secara maksimal. Di dunia ini, maka banyak orang yang mudah tergoda dengan kekayaan. Karena persepsi tentang kekayaan sebagai ukuran keberhasilan seseorang, maka seseorang akan mengejar kekayaan itu tanpa memperhitungkan bagaimana kekayaan tersebut diperoleh.
Dalam banyak hal, penyebab seseorang melakukan korupsi adalah karena ketergodaannya akan dunia materi atau kekayaan yang tidak mampu ditahannya. Ketika dorongan untuk menjadi kaya tidak mampu ditahan sementara akses ke arah kekayaan bisa diperoleh melalui cara berkorupsi, maka jadilah seseorang akan melakukan korupsi. Jadi, jika menggunakan cara pandang penyebab korupsi seperti ini, maka salah satu penyebab korupsi adalah cara pandang terhadap kekayaan. Cara pandang terhadap kekayaan yang salah akan menyebabkan cara yang salah dalam mengakses kekayaan. Korupsi dengan demikian kiranya akan terus berlangsung, selama masih terdapat kesalahan tentang cara memandang kekayaan. Semakin banyak orang salah dalam memandang kekayaan, maka semakin besar pula kemungkinan orang akan melakukan kesalahan dalam mengakses kekayaan.
3.3 Kondisi Yang Mendukung Munculnya Korupsi
Adapun kondisi yang mendukung terjadinya korupsi ini antara lain:
• Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
• Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
• Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
• Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
• Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
• Lemahnya ketertiban hukum.
• Lemahnya profesi hukum.
• Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
• Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
Penyebab terjadinya korupsi bermacam-macam dan banyak ahli mengklasifiksikan
penyebab terjadinya korupsi. Salah satunya Boni Hargen, yang membagi penyebab terjadinya korupsi menjadi 3 wilayah (media online 2003), yaitu:
• Wilayah Individu, dikenal sebagai aspek manusia yang menyangkut moralitas personal serta kondisi situasional seperti peluang terjadinya korupsi termasuk di dalamnya adalah faktor kemiskinan.
• Wilayah Sistem, dikenal sebagai aspek institusi/administrasi. Korupsi dianggap sebagai konsekuensi dari kerja sistem yang tidak efektif. Mekanisme kontrol yang lemah dan kerapuhan sebuah sistem member peluang terjadinya korupsi.
• Wilayah Irisan antara Individu dan Sistem, dikenal dengan aspek social budaya, yang meliputi hubungan antara politisi, unsur pemerintah dan organisasi non pemerintah. Selain itu meliputi juga kultur masyarakat yang cenderung permisif dan kurang perduli dengan hal-hal yang tidak terpuji. Di samping itu terjadinya pergeseran nilai, logika, sosial, dan ekonomi yang ada dalam masyarakat. 
Adapun dampak dari korupsi bagi bangsa Indonesia sangat besar dan komplek.
Menurut Soejono Karni, beberapa dampak korupsi adalah
• rusaknya sistem tatanan masyarakat,
• ekonomi biaya tinggi dan sulit melakukan efisiensi,
• munculnya berbagai masalah sosial di masyarakat,
• penderitaan sebagian besar masyarakat di sektor ekonomi, administrasi, politik, maupun hukum,
• yang pada akhirnya menimbulkan sikap frustasi, ketidakpercayaan, apatisterhadap pemerintah yang berdampak kontraproduktif terhadap pembangunan.
3.4 Pemberantasan Korupsi Di Indonesia
Masalah korupsi dan bagaimana cara mengatasinya sudah sangat banyak dibicarakan oleh para pengamat, penegak hukum, tokoh LSM, pejabat, pendidik dan juga pemimpin umat dari berbagai agama. Namun spirit reformasi yang digulirkan pada tahun 1998 ditandai dengan runtuhnya rejim Orde Baru, yang salah satu agenda pokoknya adalah “pemberantasan KKN”, ternyata gaungnya mulai meredup. Ironis, karena sampai sekarang belum ada tanda-tanda bahwa korupsi dapat dikurangi apalagi diberantas, Indonesia tetap bertengger sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Penanganan korupsi masih sangat mengecewakan dan dinilai masih dalam praktik "tebang pilih". Artinya, masih banyak kasus besar yang belum tersentuh pengadilan dan terkesan dilindungi oleh kekuasaan. Banyak putusan hakim yang kental isu suap. Banyak kasus yang ditangani, tapi ketika sampai di pengadilan banyak terdakwanya yang dibebaskan. Padahal menurut perasaan keadilan masyarakat atau pun berdasarkan fakta yang muncul di pengadilan, seharusnya hakim memutuskan sebagai terbukti bersalah. 
Menghadapi beban penegakan hukum terhadap kejahatan korupsi yang semakin canggih dan kompleks, lembaga kejaksaan sebagai ujung tombak penegak hukum, mutlak perlu membenahi diri ke dalam dan mereformasi diri. Salah satu agenda penting dalam reformasi lembaga kejaksaan adalah bagaimana lembaga ini dapat menjadi lembaga yang bebas dari intervensi politik. Politisasi hukum sudah berlangsung lama dan ini harus dijadikan agenda reformasi untuk menjadikan lembaga kejaksaan steril dari pengaruh politik dan kepentingan politik.
Masyarakat kebanyakan masih menganggap suap sebagai hal yang wajar, lumrah, dan tidak menyalahi aturan. Suap terjadi hampir di semua aspek kehidupan dan dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat. Banyak yang belum memahami bahwa suap, baik memberi maupun menerima, termasuk tindak korupsi. Suap dianggap sebagai bentuk primitif dan induk korupsi. Suap adalah awal lahirnya budaya koruptif dalam skala luas yang terjadi saat ini.
Contoh paling sederhana dari suap adalah memberi biaya perjalan dan menginap bagi anggota partainya dan sangat berkaitan dengan jabatan yang akan diraihnya, tapi memakai bahasa lain yang bukan terang- terangan mengatakan ini adalah suap hanya “membantu”. Sebenarnya membantu ini adalah hal yang lumrah tapi disalah gunakan demi kepentingan yang lain dan akhirnya justru disalahgunakan demi keuntungan pribadi dan saling menguntungkan antara pemberi dan penerima.
Aplikasi suap terjadi mulai dari hal yang sederhana dan sepele hingga urusan kenegaraan yang rumit. Suap terjadi mulai dari pengurusan kartu tanda penduduk (KTP) hingga pembuatan undang-undang (UU) di lembaga legislatif. Dalam masyarakat yang kian materialistis, ada gium "tak ada yang gratis" menjadi acuan. Akibatnya, sesuatu yang menjadi kewajiban seseorang, karena jabatannya menjadi "diperjual belikan" demi keuntungan pribadi.
Namun, suap bukan monopoli masyarakat Timur. Di berbagai negara maju, suap masih banyak terjadi dengan berbagai bentuk. Suap juga tidak hanya terjadi di sektor pemerintahan atau publik, tetapi juga terjadi di sektor swasta dan korporasi yang melibatkan antar perusahaan atau antara perusahaan dan pejabat publik.
Perbedaannya, suap di negara maju lebih mampu diminimalkan jumlah dan dampaknya. Aturan dan sanksi yang jelas dan tegas, baik sanksi hukum maupun sosial, membuat banyak pelaku suap, termasuk yang kelas kakap, mampu dijerat hukum. Namun di Indonesia, hal itu sepertinya belum berlaku. Padahal, hukum dan aturan yang melarang suap tersedia sejak Indonesia merdeka.
Kesadaran akan dampak dan kerugian suap juga bukan hal baru. Tapi akibat suap dan tindak koruptif lainnya, yang menyebabkan terbengkalainya kepentingan publik. Kesalahan yang terjadi sejak lama dan dibiarkan terjadi secara terus-menerus membuat suap menjadi tindakan yang seolah-olah dibenarkan. Bahkan, masyarakat menganggap suap sebagai hal yang "dibenarkan". Sudah menjadi rahasia umum bila masyarakat hingga kini masih beranggapan, untuk menjadi pegawai negeri sipil atau anggota TNI/ Polri selalu harus disertai dengan suap dengan nilai hingga puluhan juta rupiah. Dengan semakin sempitnya ketersediaan lapangan kerja, anggapan ini juga merambah ke sektor swasta dan menyentuh kelas masyarakat ekonomi paling bawah.
Di beberapa negara lain, proses penyuapan masih menyertakan tanda bukti yang disertai penyebutan nama, jabatan, dan tanda tangan dengan jelas. Adapun di Indonesia, penyuapan umumnya dilakukan tanpa transaksi perbankan, tanpa tanda bukti apa pun, dan terkadang diberikan melalui jasa perantara. Untuk mengelabui hasil penyuapan, penerima sering kali menjadikan hasil suap itu sebagai harta kekayaan istri, anak, atau anggota keluarga yang lain. Bahkan, tak jarang harta hasil korupsi ini digunakan untuk amal kemanusiaan.
Kerangka kultural yang penuh pertimbangan ini membuat masyarakat selalu berusaha untuk menyiasati segala aturan yang ada. Masyarakat yang tidak mengerti juga membuat hukum yang dibuatnya pun tidak tegas. Aturan hukum terkadang keras, tetapi di bagian lain justru sangat lunak. Ketidakpastian hukum ini membuat hukum sangat mudah disiasati. Tingginya tingkat kekerabatan masyarakat atas dasar berbagai ikatan primordial juga membuat penegakan hukum tidak bisa dilakukan dengan tegas. Hukum hanya berlaku untuk kelompok masyarakat tertentu, namun tak digunakan untuk kelompok yang lain. 
Kondisi ini membuat pemberantasan korupsi yang dilakukan sejak dulu hingga kini hanya drama penegakan hukum. Hampir semua pejabat publik dari pusat hingga daerah memainkan perannya dalam penegakan hukum. Namun, masyarakat sudah sangat cerdas menilai apa yang dilakukan oleh pemimpin mereka. Keterbukaan informasi membuat masyarakat mampu mencerna apa yang dilakukan pejabat dan membandingkan dengan kondisi sehari-hari. Hal-hal yang ditonton masyarakat dari pemimpin selanjutnya ditiru dalam skala yang lebih kecil. Tiadanya teladan juga membuat masyarakat tidak pernah optimistis terhadap upaya pemerintah menciptakan pemerintahan yang baik (good governance). Pemerintah yang membuat aturan, namun pemerintah yang menyiasati dan melanggarnya.
Dalam pemberantasan korupsi sendiri banyak terjadi penyalah gunaan hukum dari yang mengkorupsi bermiliaran rupiah bisa didenda hanya sebagian kecil dari yang mareka korupsi dan dipenjara hanya beberapa bulan saja, sangat ironis dengan yang terjadi baru- baru ini seorang yang mengambil buah kakao dipenjara dan dihukum. Kadang hukum sediri terasa memainkan atau dipermainkan.Oleh karena itu, untuk mengurangi kasus suap dan tindak korupsi lainnya, UU perlindungan saksi dan UU pembuktian terbalik harus segara diwujudkan. Kedua aturan ini diperlukan karena selama ini mereka yang mengungkap adanya korupsi justru dijerat hukum dengan tuduhan pencemaran nama baik. Namun, mereka yang dituduh korupsi justru bebas dan tindak korupsinya tak tersentuh hukum. Langkah awal memberantas korupsi di Indonesia adalah pemberantasan korupsi di lembaga peradilan dan lembaga politik.
Pemberantasan korupsi dan suap bisa dilakukan dengan jalur struktural saja tak cukup. Pencegahan melalui jalur kultural perlu digalakkan meski hasilnya baru dapat diperoleh dalam jangka waktu lama. Jalur paling cepat mengatasi korupsi adalah melalui jalur struktural. Namun, perlu dicari terobosan agar pemberantasan korupsi di jalur ini mampu menghasilkan penegakan hukum yang kuat. Kita dapat lihar dari langkah China dengan menerapkan keadaan darurat korupsi, pantas ditiru. Cara China dalam memberantas korupsi dinilai sulit diterapkan di Indonesia, terutama dengan pro-kontra hukuman mati bagi koruptor. Namun, tanpa cara ini upaya meminimalkan korupsi akan sulit dicapai dalam waktu cepat.
Kesulitan pemberantasan ini karena dua sebab. Yang pertama korupsi yang telah membudaya, sebab kedua adalah penanganan korupsi ini yang tidak dilakukan secara sistemik dan sejak dini –melalui pendidikan-.
Adapun yang disebut kultur atau kebudayaan dalam kehidupan manusia itu adalah sesungguhnya suatu fenomena dalam kehidupan manusia yang sungguh partikular sifatnya. Relativisme kultural inilah yang menjelaskan kenyataan, bagaimana praktik dan praksis dalam pengalaman suatu bangsa tertentu sangat dipujikan sebagai aset fungsional bagi ketertiban dalam kehidupan setempat, tetapi dipandang amat tercela sebagai perusak sendi-sendi kehidupan.
Relativitisme kultural seperti itu –juga dalam hubungannya dengan persoalan ‘korupsi’- tercontohkan juga dengan kenyataan bahwa di negeri-negeri Timur ini tidak terdeteksi adanya kata-kata yang berpadanan dengan kata ‘korupsi’ terhadap perilaku pengembangan kekuasaan negara yang mengambil keuntungan dari jabatannya itu.
Budaya korupsi bisa terjadi karena berbagai latar belakang. Di antara penyebabnya adalah: pertama, kelemahan pemimpin untuk mencegah dan memberikan ketauladanan yang baik. Kedua, kelemahan pengajaran agama dan etika. Ketiga, budaya kolonialisme yang mendarah daging dan terpatri dalam benak dan perilaku masyarakat kita. Budaya kolonial yang cenderung mempraktikkan hegemoni dan dominasi, menjadikan orang Indonesia juga tega menindas bangsanya sendiri lewat perilaku korupsi.
Keempat, tidak adanya penegakan hukum yang tegas dan memberatkan. Penegakan hukum serta pengusutan secara tuntas dan adil terhadap tindak korupsi memang harus dilaksanakan dan ditegakkan tanpa pandang bulu. Kelima, struktur pemerintahan yang justru menumbuhkan lingkungan subur untuk korupsi. Birokrasi yang sentralistik dan banyak mentenderkan proyek pembangunan, adalah sesuatu yang jelas terpanjang di depan mata.
Kendala-kendala yang dihadapi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia
Korupsi dapat terjadi di negara maju maupun negara berkembang seperti Indonesia. Adapun hasil analisis penulis dari beberapa teori dan kejadian di lapangan, ternyata hambatan/kendala-kendala yang dihadapi Bangsa Indonesia dalam meredam korupsi antara lain adalah :
1. Penegakan hukum yang tidak konsisten dan cenderung setengah-setengah.
2. Struktur birokrasi yang berorientasi ke atas, termasuk perbaikan birokrasi yang cenderung terjebak perbaikan renumerasi tanpa membenahi struktur dan kultur.
3. Kurang optimalnya fungsi komponen-komponen pengawas atau pengontrol, sehingga tidak ada check and balance.
4. Banyaknya celah/lubang-lubang yang dapat dimasuki tindakan korupsi pada sistem politik dan sistem administrasi negara Indonesia.
5. Kesulitan dalam menempatkan atau merumuskan perkara, sehingga dari contoh-contoh kasus yang terjadi para pelaku korupsi begitu gampang mengelak dari tuduhan yang diajukan oleh jaksa.
6. Taktik-taktik koruptor untuk mengelabui aparat pemeriksa, masyarakat, dan negara yang semakin canggih.
7. Kurang kokohnya landasan moral untuk mengendalikan diri dalam menjalankan amanah yang diemban.

Upaya-upaya yang harus dilakukan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Dengan memperhatikan faktor-faktor yang menjadi penyebab korupsi dan hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pemberantasannya, dapatlah dikemukakan beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menangkalnya, yakni :
1. Menegakkan hukum secara adil dan konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan norma-norma lainnya yang berlaku.
2. Menciptakan kondisi birokrasi yang ramping struktur dan kaya fungsi. Penambahan/rekruitmen pegawai sesuai dengan kualifikasi tingkat kebutuhan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
3. Optimalisasi fungsi pengawasan atau kontrol, sehingga komponen-komponen tersebut betul-betul melaksanakan pengawasan secara programatis dan sistematis.
4. Mendayagunakan segenap suprastruktur politik maupun infrastruktur politik dan pada saat yang sama membenahi birokrasi sehingga lubang-lubang yang dapat dimasuki tindakan-tindakan korup dapat ditutup.
5. Adanya penjabaran rumusan perundang-undangan yang jelas, sehingga tidak menyebabkan kekaburan atau perbedaan persepsi diantara para penegak hukum dalam menangani kasus korupsi.
6. Semua elemen (aparatur negara, masyarakat, akademisi, wartawan) harus memiliki idealisme, keberanian untuk mengungkap penyimpangan-penyimpangan secara objektif, jujur, kritis terhadap tatanan yang ada disertai dengan keyakinan penuh terhadap prinsip-prinsip keadilan.
7. Melakukan pembinaan mental dan moral manusia melalui khotbah-khotbah, ceramah atau penyuluhan di bidang keagamaan, etika dan hukum. Karena bagaimanapun juga baiknya suatu sistem, jika memang individu-individu di dalamnya tidak dijiwai oleh nilai-nilai kejujuran dan harkat kemanusiaan, niscaya sistem tersebut akan dapat disalahgunakan, diselewengkan atau dikorup.

Upaya memerangi korupsi bukanlah hal yang mudah. Dari pengalaman Negaranegara lain yang dinilai sukses memerangi korupsi, segenap elemen bangsa dan masyarakat harus dilibatkan dalam upaya memerangi korupsi melalui cara-cara yang simultan. Upaya pemberantasan korupsi meliputi beberapa prinsip, antara lain:
a. memahami hal-hal yang menjadi penyebab korupsi,
b. upaya pencegahan, investigasi, serta edukasi dilakukan secara bersamaan,
c. tindakan diarahkan terhadap suatu kegiatan dari hulu sampai hilir (mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan aspek kuratifnya) dan meliputi berbagaui elemen.
Penutup 
Pernyataan korupsi sebagai sebuah kebudayaan tetap menjadi sebuah pernyataan yang melahirkan dua pandangan yang berbeda. Ada pihak yang mengatakan bahwa tindakan korupsi merupakan sebuah budaya dan ada juga yang menentang hal ini. Namun perbedaan pendapat ini didasarkan pada pemahaman kebudayaan yang berbeda-beda pula. Korupsi bisa di lihat sebagai sebuah kebudayaan jika kebudayaan memiliki diartikan sebagai sebuah tingkah laku yang terus diwariskan dari generasi ke generasi, sebuah kebiasaan yang terus terpelihara dalam masyarakat baik secara pribadi maupun kelompok yang besar seperti seperti bangsa Indonesia. Namun secara filosofis, korupsi di satu pihak bukanlah sebuah kebudayaan sebab korupsi sungguh bertentangan dengan nilai dan unsur kebudayaan itu sendiri dan di pihak lain korupsi dapat dikatakan sebuah kebudayaan jika meneliti motif dari korupsi itu sendiri. Nilai kebahagiaan yang merupakan hal yang mendasar dari manusia itu sendiri merupakan motif di balik tindakan korupsi itu.
Dengan kekuatan yang dimilikinya berupa semangat dalam menyuarakan dan memperjuangkan nilai-nilai kebenaran serta keberanian dalam menentang segala bentuk ketidak adilan, masyarakat menempati posisi yang penting dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Kekuatan tersebut bagaikan pisau yang bermata dua, di satu sisi, mahasiswa mampu mendorong dan menggerakkan masyarakat untuk bertindak atas ketidakadilan sistem termasuk didalamnya tindakan penyelewengan jabatan dan korupsi. Sedangkan di sisi yang lain, mahasiswa merupakan faktor penekan bagi penegakan hukum bagi pelaku korupsi serta pengawal bagi terciptanya kebijakan publik yang berpihak kepada kepentingan masyarakat banyak.






DAFTAR PUSTAKA
Bahan Bacaan Akhiar Salmi, Paper 2006, “Memahami UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, MPKP, FE,UI.
Soetandyo Wignjosoebroto, “Korupsi Sebagai Masalah Sosial-Budaya”, Jurnal Dinamika Masyarakat (Jakarta: Ristek, 2004), 274.
M.A. Shomali, Relativisme Etika, ter. Zaimul Am, (Jakarta: Serambi, 2005), 31.
Soetandyo, Korupsi..., 275.
Franz Magnis-Suseno, Filsafat Kebudayaan Politik, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1992, hal 126.
Ibid., hal 128
Soerjanto Poespowardojo, Stategi Kebudayaan ; Suatu Pendekatan Filosofis, Jakarta : PT Gramedia, 1989, hal 220

Tidak ada komentar:

Posting Komentar